Rabu, 03 Mei 2017

Petunia yang Berguguran di Hati Senja




Prolog
Kau boleh tak mencintaiku, tapi kau tak akan sanggup menghalangiku mencintaimu. Cinta membabi buta yang pada akhirnya mengajarkanku banyak hal. Membuatku mengenal sisi ketulusan.

            Sakit tak selalu pada luka yang berdarah. Sakit yang tak pernah kau bayangkan bisa jadi bersemayam pada raga yang tampak baik-baik saja. Ini tentang hati yang merapuh oleh kenangan. Senyum palsu serta tatapan yang berpura-pura tegar setia menemani. Kau harus bangun di pagi hari dengan napas baru, memastikan dadamu cukup tangguh untuk menampung gemuruh yang merangsek dari segala arah. Kemudian menikmatinya sendiri.
            Aku menyukai bagaimana pun wajah hari. Sebab Tuhan melukiskannya dengan tujuan masing-masing. Meski aku memiliki rasa suka berlebih terhadap kabut. Entahlah. Aku menyukai cuaca yang justru tak disenangi banyak orang. Menurut mereka, kabut selalu mengutus hawa dingin berlebih, serta membatasi pandangan. Ada sisi lain dalam kabut yang kusuka, kuuraikan dengan caraku sendiri. Bagiku, kabut mengandung jutaan partikel warna yang memancar dari rasa kecewa, kehilangan, pengkhianatan, dan apa pun yang membawa diri bertemankan pilu. Meskipun semuanya bernada sendu, justru di situlah letak alasanku menyukainya. Sebab Tuhan mengutus kabut untuk menutupi semua luka di muka bumi. Termasuk lukaku. Luka abadi yang tak ditakdirkan berjodoh dengan penawar mana pun. Meski hanya sesaat dan akan kembali berdarah ketika kabut berlalu tersapu mentari.
            Aku bukan manusia super yang kebal luka dan betah menyimpannya dalam diam. Aku pun tak pernah memilih untuk ada di takdir ini. Aku hanya bertahan agar tak banyak luka yang bermekaran. Meski dengan begini, aku akan mati perlahan-lahan.

***


BAB 1
Cinta Laki-Laki Tangguh
            Namaku Senja. Bukankah senja itu ketika warna jingga transit di langit sore untuk menyambut malam? Setahuku begitu. Entah sebab apa orangtuaku memberikan nama itu. Awalnya kupikir karena aku lahir di waktu senja, nyatanya tidak. Aku pernah tak menyukai nama yang kusandang sejak lahir ini. Menurutku, senja berarti sesaat. Apa yang bisa dibanggakan dari sesaat?
            Waktu itu umurku 10 tahun, ketika kami sekeluarga berlibur ke pantai. Tangan lembut mama mendarat di pundakku ketika lena mengamati hamparan laut yang seolah bergandengan tangan dengan langit. Tengadah, kutemukan senyum mama yang selalu menenangkan.
            “Kamu tahu, pertemuan mama dan papa terjadi ketika senja. Senja selalu membawa getar halus pada hati yang bahagia, serta sekuntum damai untuk hati yang gelisah. Kami menamaimu “Senja” karena kamu adalah anugerah terindah dari Tuhan, sama seperti senja yang mempertemukan kami.” Suara mama pelan dan berbobot.
            Sejak saat itu, kutemukan hal ajaib di balik namaku. Persis ketika jingga keemasan berlaga di langit. Senja.
            Sekali lagi, apa yang bisa dibanggakan dari sesaat? Nyatanya, aku menyukai bunga petunia yang keindahannya tak mampu berlama-lama menemaniku. Terlebih pada variant ungu. Pada senja yang sesaat, pada bunga petunia yang tak tahan lama, sungguh bukan hal yang direncanakan.
            Orang dengan mudah tahu bahwa aku penyuka petunia, sekali pun baru kenal. Termasuk Ruwanta, lelaki bermata elang yang berhasil menabur rindu di hati sejak percakapan pertama kami.
            “Kenapa kamu suka petunia?” tanyanya ketika menghampiriku yang sedang menyendiri di taman. Waktu itu kami sedang menjalani masa ospek, belum banyak yang kukenal.
            “Kok, tahu?” setelah pertanyaan itu terlontar, aku disadarkan oleh notebook, pulpen, hingga jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri, semuanya bermotif petunia ungu. Kalau untuk hal ini aku sengaja. Selain memelihara petunia di beranda, mengoleksi benda-benda bermotif bunga kecil itu juga salah satu kesenangan.
            Ruwanta entah orang keberapa yang langsung menebak kesukaanku pada bunga petunia di perjumpaan pertama, aku tak peduli. Sudah terlalu banyak. Yang lebih kupedulikan adalah senyumnya. Serupa kelopak petunia diterpa cahaya sore. Lebih dari sekadar indah, menenangkan.
            Berawal dari percakapan singkat yang terkesan sok kenal sok dekat itu otakku selalu berproses, mencari tahu lebih jauh apa pun tentang Ruwanta.

***

            Matahari tampak ceria. Sinarnya yang serupa mengandung bara serta-merta memenuhi kawasan Universitas Advent Indonesia. Jam kuliah baru saja berakhir. Aku mempercepat langkah menunju mobil. Bukan karena kepanasan, tapi karena melihat orang itu. Yudit, lelaki yang telah menjelma sebagai pejuang cinta paling tangguh di mataku sejak kami masih sama-sama mengenakan seragam putih abu-abu. Tiga tahun di SMA, hari-hariku tak pernah lepas darinya. Menurut pengakuannya, ia jatuh cinta padaku sejak hari pertama masuk sekolah dan menempati kelas yang sama. Awalnya kupikir berlebihan dan hanya perasaan sesaat. Ternyata ia berhasil membuktikannya hingga saat ini. Bahkan, ia menolak keinginan orangtuanya untuk menyekolahkannya di luar negeri demi tetap besamaku. Melanjutkan perjuangan lebih tepatnya.
            Yudit berasal dari keluarga berada. Papanya pengusaha tambang minyak yang memiliki jaringan hingga ke luar negeri. Tak heran jika banyak perempuan yang meleleh dibuatnya. Entah naksir orangnya atau malah kepincut sama mobil sport keluaran terbaru yang selalu menemani kesehariannya. Di samping kekayaan yang sering jadi buah bibir di kalangan penggemarnya, secara fisik, dia lumayan tampan. Rambut cepak, hidung mancung, alis tebal, kulit putih bersih, badan tegap berotot. Belum lagi nilai akademiknya yang selalu gemilang. Di SMA, juara umum tidak pernah lepas dari genggamannya. Perilakunya juga sangat sopan, beda jauh dengan lelaki kaya yang sok ganteng pada umumnya. Karena itu, sesekali menurutku ia teramat sempurna.
            Yang mampu merasa di dalam dadaku adalah hati, bukan batu yang tak bisa Yudit taklukkan bagaimana pun keras usahanya selama bertahun-tahun. Tapi, aku terlanjur menganggapnya sebatas teman. Bukankah sejak dulu perasaan memang tidak bisa dipaksakan? Cinta bukan perkara benda yang bisa dilepas pasang seenaknya.
            Entah berapa banyak hadiah yang kuterima—secara terpaksa—darinya. Entah berapa banyak usahanya untuk memenangkan hatiku yang sesekali membuatku takjub. Ajaib. Untuk perhatian-perhatian kecil tak terhitung lagi. Jumlahnya mungkin sudah melebihi bintang yang menghiasi langit malam. Semua itu membuat para penggemarnya membenciku. Di saat mereka tengah berjuang mendapatkan perhatian Yudit, aku malah menghindar. Mengabaikannya. Meski di beberapa kesempatan aku memang memanfaatkannya. Ketika mobil masuk bengkel dan butuh tumpangan misalnya, ketika ada tugas rumit yang kejar deadline, dan berbagai hal yang tak perlu kusebutkan. Bukan Yudit namanya bila tak membantu sukacita. Meski ia sadar, aku hanya memanfaatkannya.
            Cinta lelaki tangguh itu tiba pada klimaks. Perkara aku mau menerima atau tidak, baginya sudah tidak terlalu penting. Ia hanya ingin selalu membahagiakanku. Kurang lebih seperti itu.
            “Senja …!” suaranya hinggap di telinga ketika tanganku baru saja meraih dan membuka pintu mobil.
            Aku menoleh dengan ekspresi yang selalu sama setiap kali berhadapan dengannya. Tidak berselera. Bergegas masuk dan mengabaikannya sepertinya terlalu kejam. Bagaimana pun, tidak bisa dipungkiri, ia sering membantuku dalam banyak hal.
            “Minggu depan, kan, sudah musim liburan, aku dan keluarga berencana ke Bali. Kamu ikut, ya!” Lelaki beraroma vanilla itu berucap penuh semangat. Wajah cerianya pulih kembali setelah kuremukkan berkali-kali. Sejak pertama kenal, ia tidak pernah ganti parfum. Selalu aroma itu yang melekat di tubuhnya. Aku sudah hafal. Konon, ia membelinya secara khusus di online shop yang berpusat di Prancis.
            “Aku sudah bilang sama papa dan mama,” imbuhnya ketika otakku sibuk merancang kalimat penolakan.
            Aku jadi teringat sama kedua orangtuanya. Meskipun super sibuk, mereka tidak pernah lupa memerhatikan anak-anaknya—Yudit dan Yunit, sang adik yang masih duduk di bangku SMP. Aku mengenal mereka setelah secara terpaksa ke rumah Yudit, demi kelancaran tugas makalah sejarah yang membuatku mual sewaktu SMA dulu. Di lingkungan tempat tinggalnya, mereka dikenal sosok yang dermawan. Tak jarang nama mereka tampil sebagai donatur untuk berbagai kegiatan sosial dan aksi kemanusiaan. Pak Bara dan Bu Wina, sosok orangtua yang sempurna menurutku. Mereka sangat baik terhadapku.
            “Aku sudah ada rencana sama mama,” kilahku kemudian.
            Gitu, ya?” pancaran matanya perlahan-lahan meredup.
            “Ya sudah, aku duluan, ya!” aku masuk ke dalam mobil dan lekas meninggalkan pelataran parkir. Dari kaca spion, kulihat ia masih mematung di tempat semula, memantulkan pandangan ke lantai beton yang mungkin di benaknya serupa kerasnya pendirianku. Tuhan … setangguh apakah hati lelaki itu?

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar