Kau boleh tak mencintaiku, tapi kau tak akan sanggup menghalangiku
mencintaimu. Cinta membabi buta yang pada akhirnya mengajarkanku banyak hal.
Membuatku mengenal sisi ketulusan.
Sakit tak
selalu pada luka yang berdarah. Sakit yang tak pernah kau bayangkan bisa jadi
bersemayam pada raga yang tampak baik-baik saja. Ini tentang hati yang merapuh
oleh kenangan. Senyum palsu serta tatapan yang berpura-pura tegar setia
menemani. Kau harus bangun di pagi hari dengan napas baru, memastikan dadamu
cukup tangguh untuk menampung gemuruh yang merangsek dari segala arah. Kemudian
menikmatinya sendiri.
Aku
menyukai bagaimana pun wajah hari. Sebab Tuhan melukiskannya dengan tujuan
masing-masing. Meski aku memiliki rasa suka berlebih terhadap kabut. Entahlah.
Aku menyukai cuaca yang justru tak disenangi banyak orang. Menurut mereka,
kabut selalu mengutus hawa dingin berlebih, serta membatasi pandangan. Ada sisi
lain dalam kabut yang kusuka, kuuraikan dengan caraku sendiri. Bagiku, kabut
mengandung jutaan partikel warna yang memancar dari rasa kecewa, kehilangan,
pengkhianatan, dan apa pun yang membawa diri bertemankan pilu. Meskipun
semuanya bernada sendu, justru di situlah letak alasanku menyukainya. Sebab
Tuhan mengutus kabut untuk menutupi semua luka di muka bumi. Termasuk lukaku.
Luka abadi yang tak ditakdirkan berjodoh dengan penawar mana pun. Meski hanya
sesaat dan akan kembali berdarah ketika kabut berlalu tersapu mentari.
Aku bukan
manusia super yang kebal luka dan betah menyimpannya dalam diam. Aku pun tak
pernah memilih untuk ada di takdir ini. Aku hanya bertahan agar tak banyak luka
yang bermekaran. Meski dengan begini, aku akan mati perlahan-lahan.
***
BAB 1
Cinta Laki-Laki Tangguh
Namaku
Senja. Bukankah senja itu ketika warna jingga transit di langit sore untuk
menyambut malam? Setahuku begitu. Entah sebab apa orangtuaku memberikan nama
itu. Awalnya kupikir karena aku lahir di waktu senja, nyatanya tidak. Aku
pernah tak menyukai nama yang kusandang sejak lahir ini. Menurutku, senja
berarti sesaat. Apa yang bisa dibanggakan dari sesaat?
Waktu itu
umurku 10 tahun, ketika kami sekeluarga berlibur ke pantai. Tangan lembut mama
mendarat di pundakku ketika lena mengamati hamparan laut yang seolah
bergandengan tangan dengan langit. Tengadah, kutemukan senyum mama yang selalu
menenangkan.
“Kamu tahu,
pertemuan mama dan papa terjadi ketika senja. Senja selalu membawa getar halus
pada hati yang bahagia, serta sekuntum damai untuk hati yang gelisah. Kami
menamaimu “Senja” karena kamu adalah anugerah terindah dari Tuhan, sama seperti
senja yang mempertemukan kami.” Suara mama pelan dan berbobot.
Sejak saat
itu, kutemukan hal ajaib di balik namaku. Persis ketika jingga keemasan berlaga
di langit. Senja.
Sekali
lagi, apa yang bisa dibanggakan dari sesaat? Nyatanya, aku menyukai bunga
petunia yang keindahannya tak mampu berlama-lama menemaniku. Terlebih pada variant ungu. Pada senja yang sesaat,
pada bunga petunia yang tak tahan lama, sungguh bukan hal yang direncanakan.
Orang
dengan mudah tahu bahwa aku penyuka petunia, sekali pun baru kenal. Termasuk
Ruwanta, lelaki bermata elang yang berhasil menabur rindu di hati sejak
percakapan pertama kami.
“Kenapa
kamu suka petunia?” tanyanya ketika menghampiriku yang sedang menyendiri di
taman. Waktu itu kami sedang menjalani masa ospek, belum banyak yang kukenal.
“Kok,
tahu?” setelah pertanyaan itu terlontar, aku disadarkan oleh notebook, pulpen, hingga jam tangan yang
melingkar di pergelangan tangan kiri, semuanya bermotif petunia ungu. Kalau
untuk hal ini aku sengaja. Selain memelihara petunia di beranda, mengoleksi
benda-benda bermotif bunga kecil itu juga salah satu kesenangan.
Ruwanta
entah orang keberapa yang langsung menebak kesukaanku pada bunga petunia di
perjumpaan pertama, aku tak peduli. Sudah terlalu banyak. Yang lebih
kupedulikan adalah senyumnya. Serupa kelopak petunia diterpa cahaya sore. Lebih
dari sekadar indah, menenangkan.
Berawal
dari percakapan singkat yang terkesan sok kenal sok dekat itu otakku selalu
berproses, mencari tahu lebih jauh apa pun tentang Ruwanta.
***
Matahari
tampak ceria. Sinarnya yang serupa mengandung bara serta-merta memenuhi kawasan
Universitas Advent Indonesia. Jam kuliah baru saja berakhir. Aku mempercepat langkah
menunju mobil. Bukan karena kepanasan, tapi karena melihat orang itu. Yudit,
lelaki yang telah menjelma sebagai pejuang cinta paling tangguh di mataku sejak
kami masih sama-sama mengenakan seragam putih abu-abu. Tiga tahun di SMA,
hari-hariku tak pernah lepas darinya. Menurut pengakuannya, ia jatuh cinta
padaku sejak hari pertama masuk sekolah dan menempati kelas yang sama. Awalnya
kupikir berlebihan dan hanya perasaan sesaat. Ternyata ia berhasil
membuktikannya hingga saat ini. Bahkan, ia menolak keinginan orangtuanya untuk
menyekolahkannya di luar negeri demi tetap besamaku. Melanjutkan perjuangan
lebih tepatnya.
Yudit
berasal dari keluarga berada. Papanya pengusaha tambang minyak yang memiliki
jaringan hingga ke luar negeri. Tak heran jika banyak perempuan yang meleleh
dibuatnya. Entah naksir orangnya atau malah kepincut sama mobil sport keluaran terbaru yang selalu
menemani kesehariannya. Di samping kekayaan yang sering jadi buah bibir di
kalangan penggemarnya, secara fisik, dia lumayan tampan. Rambut cepak, hidung
mancung, alis tebal, kulit putih bersih, badan tegap berotot. Belum lagi nilai
akademiknya yang selalu gemilang. Di SMA, juara umum tidak pernah lepas dari
genggamannya. Perilakunya juga sangat sopan, beda jauh dengan lelaki kaya yang
sok ganteng pada umumnya. Karena itu, sesekali menurutku ia teramat sempurna.
Yang mampu
merasa di dalam dadaku adalah hati, bukan batu yang tak bisa Yudit taklukkan
bagaimana pun keras usahanya selama bertahun-tahun. Tapi, aku terlanjur
menganggapnya sebatas teman. Bukankah sejak dulu perasaan memang tidak bisa
dipaksakan? Cinta bukan perkara benda yang bisa dilepas pasang seenaknya.
Entah
berapa banyak hadiah yang kuterima—secara terpaksa—darinya. Entah berapa banyak
usahanya untuk memenangkan hatiku yang sesekali membuatku takjub. Ajaib. Untuk
perhatian-perhatian kecil tak terhitung lagi. Jumlahnya mungkin sudah melebihi
bintang yang menghiasi langit malam. Semua itu membuat para penggemarnya
membenciku. Di saat mereka tengah berjuang mendapatkan perhatian Yudit, aku
malah menghindar. Mengabaikannya. Meski di beberapa kesempatan aku memang
memanfaatkannya. Ketika mobil masuk bengkel dan butuh tumpangan misalnya, ketika ada
tugas rumit yang kejar deadline, dan
berbagai hal yang tak perlu kusebutkan. Bukan Yudit namanya bila tak membantu
sukacita. Meski ia sadar, aku hanya memanfaatkannya.
Cinta
lelaki tangguh itu tiba pada klimaks. Perkara aku mau menerima atau tidak,
baginya sudah tidak terlalu penting. Ia hanya ingin selalu membahagiakanku.
Kurang lebih seperti itu.
“Senja …!”
suaranya hinggap di telinga ketika tanganku baru saja meraih dan membuka pintu
mobil.
Aku menoleh
dengan ekspresi yang selalu sama setiap kali berhadapan dengannya. Tidak
berselera. Bergegas masuk dan mengabaikannya sepertinya terlalu kejam.
Bagaimana pun, tidak bisa dipungkiri, ia sering membantuku dalam banyak hal.
“Minggu
depan, kan, sudah musim liburan, aku dan keluarga berencana ke Bali. Kamu ikut,
ya!” Lelaki beraroma vanilla itu
berucap penuh semangat. Wajah cerianya pulih kembali setelah kuremukkan
berkali-kali. Sejak pertama kenal, ia tidak pernah ganti parfum. Selalu aroma
itu yang melekat di tubuhnya. Aku sudah hafal. Konon, ia membelinya secara
khusus di online shop yang berpusat
di Prancis.
“Aku sudah
bilang sama papa dan mama,” imbuhnya ketika otakku sibuk merancang kalimat
penolakan.
Aku jadi
teringat sama kedua orangtuanya. Meskipun super sibuk, mereka tidak pernah lupa
memerhatikan anak-anaknya—Yudit dan Yunit, sang adik yang masih duduk di bangku
SMP. Aku mengenal mereka setelah secara terpaksa ke rumah Yudit, demi
kelancaran tugas makalah sejarah yang membuatku mual sewaktu SMA dulu. Di
lingkungan tempat tinggalnya, mereka dikenal sosok yang dermawan. Tak jarang
nama mereka tampil sebagai donatur untuk berbagai kegiatan sosial dan aksi
kemanusiaan. Pak Bara dan Bu Wina, sosok orangtua yang sempurna menurutku.
Mereka sangat baik terhadapku.
“Aku sudah
ada rencana sama mama,” kilahku kemudian.
“Gitu, ya?” pancaran matanya
perlahan-lahan meredup.
“Ya sudah,
aku duluan, ya!” aku masuk ke dalam mobil dan lekas meninggalkan pelataran
parkir. Dari kaca spion, kulihat ia masih mematung di tempat semula,
memantulkan pandangan ke lantai beton yang mungkin di benaknya serupa kerasnya
pendirianku. Tuhan … setangguh apakah hati lelaki itu?
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar