Minggu, 02 April 2017

Review Kumcer: Apa yang Terjadi Adalah Sebuah Kisah




Judul                 : Apa yang Terjadi Adalah Sebuah Kisah

Penulis               : Bamby Cahyadi

Penerbit             : UNSA Press

Tebal                 : 141 hlm

ISBN                 : 9786027439344

BLURB
Malam itu pesawat yang saya tumpangi dari Kuala Lumpur menuju Beijing meledak menjadi serpihan debu paling kecil di dunia. Bahkan menjadi kesiur angin laut yang lembab tak terdeteksi radar. Mereka mengatakan pesawat itu hilang. Ini bukan mimpi, saya menyaksikan itu semua sebagai hantu. Apa yang terjadi adalah sebuah kisah. Saya berada dalam pesawat nahas yang kalian nyatakan hilang itu. permainan telah berakhir. Kalian masih terus mencari, mencari hingga kalian lupa apa yang kalian cari. Atau, apakah kalian ingin sepenggal kisah lagi? Bila begitu, cerita ini belum berakhir. Bagian ini sekadar prolog saja.

Jujur, saya belum mengenal Bamby Cahyadi sebelumnya. Entah kudet, atau karena kelana saya di dunia literasi memang masih tergolong baru. Begitu info buku ini segera terbit muncul, saya mulai bertanya ke Mbah Google. Ternyata beliau punya branding yang cukup kuat dan membuat saya langsung tertarik untuk memiliki buku ini.
Sebelum terlalu jauh, izinkan saya memaparkan sebuah puisi (atau entah apa namanya) yang terdapat setelah halaman persembahan.

Wajah yang Tak Kunjung Rampung

Sketsa wajahmu di atas selimut
yang menggigit bibir memeluk lutut
menunduk menangis di sudut
aku menggambar wajahmu berulang-ulang
memakai pensil yang telah kugigit di ujung
wajahmu di atas selimut tak kunjung rampung
(hal iv)

Membaca buku ini, rasanya seperti jalan-jalan ke dunia fantasi. Banyak hal menyenangkan yang bisa ditemui. Tapi, mungkin karena faktor selera, saya kurang menikmati cerpen pertama (Gemerincing Hati). Seorang Bamby Cahyadi tidak mungkin melakukan kesalahan pada tulisannya, terlebih yang sudah terbit. Hanya saja cerpen pertama ini terasa kaku untuk saya pribadi.
Cerpen kedua (Pertaruhan Besar Seorang Suami), saya mulai jatuh cinta dengan gaya bercerita sang penulis. Ketegangan yang dibangun di awal hingga pertengahan cerpen, sukses membuat saya menggenggam buku lebih erat. Lalu menjadi sangat “wow” ketika semua itu malah berakhir lucu. Di sini, saya takjub.
Melangkah lebih jauh, saya kembali dimanjakan dengan pemandangan yang tak biasa. Cerpen “Sepenggal Kisah di Antara Prolog dan Epilog” sebuah ide yang sangat unik dan dieksekusi dengan gaya khas sang penulis. Saya mengulang membacanya hingga tiga kali, saking kagumnya dengan cara penulis menuangkan idenya.
Tak hanya itu. Pada cerpen “Acta Est Fabula” perasaan saya selaku pembaca sukses diaduk-aduk. Tentang siapa yang bercerita, apa yang diceritakan, bagaimana kisah itu diramu, cerpen ini membuat saya terkagum-kagum. Dan, hati saya mendadak gerimis ketika membaca cerpen “Filosofi Ayah”. Seperti biasa, saya teringat oleh almarhum ayah. Terlebih di cerpen ini ada sepenggal nasihat ayah yang cukup menohok.

“Hiduplah apa adanya, hal itu akan menghindarkanmu dari perilaku korupsi!” (hal 83)

Semakin jauh sebelum menandaskan buku ini, saya disuguhkan tata bahasa yang ajaib pada cerpen terakhir, “Tidak Mudah Menjadi Hantu”. Saya belum pernah merasa sehanyut ini ketika membaca cerpen. Hanyut dalam artian, saya menemukan hal baru, sesuatu yang mungkin bisa dipelajari demi kualitas tulisan saya di masa mendatang.
Dan pada akhirnya, dari keseluruhan isi buku, saya justru terkesan dengan sepenggal perjalanan hidup sang penulis yang disuguhkan di bagian akhir. Dari sini saya belajar, bahwa pengalaman merupakan salah satu modal utama untuk menulis. Semakin banyak pengalaman semakin banyak pula ide-ide bermunculan.

Bagi saya menulis adalah semacam terapi dan akan mencegah saya agar tidak terjerumus ke dalam suasana hati yang terkadang cenderung saya masuki. Suasana itu bernama kenangan. (hal 115)

Terlepas dari semua hal manis di atas, terdapat typo dan pengulangan kata di halaman 51 dan 81. Tapi untuk saya pribadi, hal itu sama sekali tidak mengurangi kualitas buku. Sebagai seseorang yang cenderung lebih suka baca novel ketimbang cerpen, buku ini mulai menyetarakan minat saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar