Judul : Apa yang Terjadi Adalah Sebuah
Kisah
Penulis : Bamby Cahyadi
Penerbit : UNSA Press
Tebal : 141 hlm
ISBN : 9786027439344
BLURB
Malam itu pesawat yang
saya tumpangi dari Kuala Lumpur menuju Beijing meledak menjadi serpihan debu
paling kecil di dunia. Bahkan menjadi kesiur angin laut yang lembab tak
terdeteksi radar. Mereka mengatakan pesawat itu hilang. Ini bukan mimpi, saya
menyaksikan itu semua sebagai hantu. Apa yang terjadi adalah sebuah kisah. Saya
berada dalam pesawat nahas yang kalian nyatakan hilang itu. permainan telah
berakhir. Kalian masih terus mencari, mencari hingga kalian lupa apa yang
kalian cari. Atau, apakah kalian ingin sepenggal kisah lagi? Bila begitu,
cerita ini belum berakhir. Bagian ini sekadar prolog saja.
Jujur, saya
belum mengenal Bamby Cahyadi sebelumnya. Entah kudet, atau karena kelana saya di dunia literasi memang masih
tergolong baru. Begitu info buku ini segera terbit muncul, saya mulai bertanya
ke Mbah Google. Ternyata beliau punya branding yang cukup kuat dan membuat saya
langsung tertarik untuk memiliki buku ini.
Sebelum terlalu
jauh, izinkan saya memaparkan sebuah puisi (atau entah apa namanya) yang
terdapat setelah halaman persembahan.
Wajah yang Tak Kunjung
Rampung
Sketsa wajahmu di atas
selimut
yang menggigit bibir
memeluk lutut
menunduk menangis di
sudut
aku menggambar wajahmu
berulang-ulang
memakai pensil yang
telah kugigit di ujung
wajahmu di atas
selimut tak kunjung rampung
(hal iv)
Membaca buku
ini, rasanya seperti jalan-jalan ke dunia fantasi. Banyak hal menyenangkan yang
bisa ditemui. Tapi, mungkin karena faktor selera, saya kurang menikmati cerpen
pertama (Gemerincing Hati). Seorang
Bamby Cahyadi tidak mungkin melakukan kesalahan pada tulisannya, terlebih yang
sudah terbit. Hanya saja cerpen pertama ini terasa kaku untuk saya pribadi.
Cerpen kedua (Pertaruhan Besar Seorang Suami), saya
mulai jatuh cinta dengan gaya bercerita sang penulis. Ketegangan yang dibangun
di awal hingga pertengahan cerpen, sukses membuat saya menggenggam buku lebih
erat. Lalu menjadi sangat “wow” ketika semua itu malah berakhir lucu. Di sini,
saya takjub.
Melangkah lebih
jauh, saya kembali dimanjakan dengan pemandangan yang tak biasa. Cerpen “Sepenggal Kisah di Antara Prolog dan Epilog”
sebuah ide yang sangat unik dan dieksekusi dengan gaya khas sang penulis. Saya
mengulang membacanya hingga tiga kali, saking kagumnya dengan cara penulis menuangkan
idenya.
Tak hanya itu.
Pada cerpen “Acta Est Fabula”
perasaan saya selaku pembaca sukses diaduk-aduk. Tentang siapa yang bercerita,
apa yang diceritakan, bagaimana kisah itu diramu, cerpen ini membuat saya
terkagum-kagum. Dan, hati saya mendadak gerimis ketika membaca cerpen “Filosofi Ayah”. Seperti biasa, saya
teringat oleh almarhum ayah. Terlebih di cerpen ini ada sepenggal nasihat ayah
yang cukup menohok.
“Hiduplah apa adanya, hal itu akan
menghindarkanmu dari perilaku korupsi!” (hal 83)
Semakin jauh
sebelum menandaskan buku ini, saya disuguhkan tata bahasa yang ajaib pada
cerpen terakhir, “Tidak Mudah Menjadi Hantu”. Saya belum pernah merasa sehanyut
ini ketika membaca cerpen. Hanyut dalam artian, saya menemukan hal baru,
sesuatu yang mungkin bisa dipelajari demi kualitas tulisan saya di masa
mendatang.
Dan pada
akhirnya, dari keseluruhan isi buku, saya justru terkesan dengan sepenggal
perjalanan hidup sang penulis yang disuguhkan di bagian akhir. Dari sini saya
belajar, bahwa pengalaman merupakan salah satu modal utama untuk menulis.
Semakin banyak pengalaman semakin banyak pula ide-ide bermunculan.
Bagi saya menulis adalah semacam terapi dan
akan mencegah saya agar tidak terjerumus ke dalam suasana hati yang terkadang
cenderung saya masuki. Suasana itu bernama kenangan. (hal 115)
Terlepas dari
semua hal manis di atas, terdapat typo dan pengulangan kata di halaman 51 dan 81. Tapi untuk
saya pribadi, hal itu sama sekali tidak mengurangi kualitas buku. Sebagai
seseorang yang cenderung lebih suka baca novel ketimbang cerpen, buku ini mulai
menyetarakan minat saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar