Jumat, 06 Oktober 2017

Review Novel: Slammed (Cinta Terlarang)



Judul           : Slammed (Cinta Terlarang)

Penulis       : Collen Hoover

Penerbit     : Gramedia Pustaka Utama

Tebal           : 335 hlm

ISBN            : 978-979-22-9518-4

Blurb:
Layken harus kuat demi ibu dan adiknya. Kematian mendadak sang ayah, memaksa mereka untuk pindah ke kota lain. Bayangan harus menyesuaikan diri lagi dengan lingkungan baru sungguh menakutkan Layken. Namun semua berubah, begitu ia bertemu dengan Will Cooper, tetangga barunya.

Will memang menarik. Dengan ketampanan dan senyum memikat, pemuda itu menularkan kecintaannya pada slams--pertunjukan puisi. Perkenalan pertama menjadi serangkaian hubungan intens yang membuat mereka semakin dekat, hingga keduanya bertemu lagi di sekolah ....

Sayangnya, hubungan mereka harus berakhir. Perasaan yang mulai tumbuh antara Will dan Layken harus dihentikan. Pertemuan rutin mereka di kelas tak membantu meniadakan perasaan itu. Dan puisi-puisi menjadi sarana untuk menyampaikan suara hati. Tentang sukacita, kecemasan, harapan, dan cinta terlarang mereka.

_*_

Alur Cerita:
Kematian Ayah menjejalkan banyak perubahan di hidup Layken. Bahkan, ia beserta ibu dan adik lelakinya harus pindah, meninggalkan Texas demi menghemat biaya hidup. Minggu-minggu pertama kehilangan Ayah tentu sangat berat bagi Layken. Kenangan manis bersama Ayah terputar tanpa jeda. Layken berusaha keras menerima kenyataan. Ia harus baik-baik saja demi ibu dan adiknya.

Mereka menempati rumah baru di Michigan yang jauh lebih kecil dibanding rumah sebelumnya. Pekarangannya serba beton, sangat timpang dengan pekarangan rumah lamanya yang berkonsep peternakan. Sepertinya tidak ada apa-apa yang menarik di sini, selain Will, pemuda jangkung yang menjadi tetangga barunya.

Perkenalan mereka cukup unik, berawal dari permainan yang diciptakan oleh adiknya dan adik pemuda itu yang langsung akrab. Selanjutnya, sikap Will sebenarnya biasa-biasa saja, tapi di mata Layken selalu istimewa. Rasanya terlalu cepat, tapi keduanya sedang merasakan hal yang sama.

“Aku masih berusaha membiasakan diri terhadap reaksi yang kurasakan saat berada di dekatnya. Sentuhan sekecil apa pun dan sikapnya yang paling sederhana sekali pun menimbulkan efek yang begitu mendebarkan pada indraku.”_(hal 36-37)

Suatu malam Will mengajak Layken berkencan, kencan pertama. Dan malam itu Layken lagi-lagi menemukan sisi lain pemuda itu yang membuatnya kian terhanyut. Will menyukai, atau lebih tepatnya menggilai puisi. Sulit dipercaya, pemuda yang suka bertingkah seenaknya itu ternyata menyukai hal-hal puitis, tapi itulah kenyataannya.

Namun, babak baru hubungan mereka bermula, secepat mereka menafsirkan perasaan masing-masing secara lugas. Mereka bertemu di sekolah baru Layken. Will menunjukkan reaksi aneh, sementara Layken beku pada kebingungannya. Kebodohan lebih tepatnya.

“Bagaimana sampai aku tidak menyadari ini? Kau masih SMA?”_(hal 77)

Will frustrasi mendapati kenyataan, Layken adalah salah satu murid di kelas puisi yang dibawakannya. Demi alasan profesionalitas, mereka pura-pura tidak saling kenal untuk sementara waktu, sampai mereka menemukan waktu yang tepat untuk membahas lebih lanjut.

Sejak pertemuan pertama hingga kencan di suatu malam, keduanya sadar, ada sesuatu yang telanjur dalam di antara mereka. Namun Will berusaha tetap logis, mengedepankan kedewasaannya. Ia punya beban tanggung jawab yang mengharuskannya untuk tetap bekerja. Dan Layken berusaha memahami.

“Tanggung jawabmu memang harus kaudahulukan, itu sebabnya aku bersedia menunggumu, Will. Kau orang baik. Situasimu ini, yang kauanggap sebagai cacat--justru menjadi alasan aku jatuh cinta padamu.”_(hal 137)

Tidak. Tidak bisa seperti itu. Will tidak ingin mengambil risiko. Ini bukan hanya tentang dirinya, tapi juga masa depan Caulder, adiknya.

Keputusan untuk meredakan apa-apa yang tengah berkobar, nyatanya tidak berjalan mulus. Bayangkan, setiap hari mereka berada di dalam kelas sebagai murid dan guru. Sepulangnya, rumah mereka berdampingan, tanpa perantara apa pun.

Ada kalanya Will kembali menjadi Will yang seharusnya, melupakan profesinya sebagai guru, ketika Layken dengan latar belakang keluarga yang cukup buruk benar-benar membutuhkannya.

Di tengah kerumitan hubungannya dengan Will, Layken mulai mencium keganjalan pada sikap ibunya. Ia sering ke suatu tempat tanpa mau menyebutkannya, bahkan pernah mendengarnya bilang "sayang" pada seseorang di telepon. Layken merasa, ibunya sudah bangkit dari rasa kehilangan, ia mulai menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Mengingat kematian ayahnya baru tujuh bulan, Layken sedikit tidak terima.

Ia mulai melakukan penyelidikan, memeriksa apa saja ketika ibunya tidak di rumah. Pencarian bukti menuntunnya pada selembar kertas bertuliskan puisi, dan nama ibunya, Julia, jelas-jelas tertera di sana.

Julia sudah merencanakan makan malam bersama kedua anaknya untuk membahas hal yang telanjur lebih dulu diketahui Layken. Mau tidak mau Julia harus menjelaskannya tanpa acara makan malam lagi. Dan penjelasan itu pun, ketika fakta baru yang sama sekali di luar perkiraan Layken terkuak, membuat situasi semakin rumit. Layken depresi, ia hampir kehilangan akal sehat.

Ada apa sebenarnya? Apa yang belum diketahui Layken? Jika penasaran, segera miliki bukunya dan baca sendiri, ya. Percayalah, ini tak seperti yang kau pikirkan. Hehehe ....

_*_

Review:
Menarik, setiap awal bab novel ini selalu ada kutipan dari lirik-lirik lagu "The Avett Brothers". Bukan asal tempel, tapi benar-benar melatarbelakangi konflik demi konflik. Meski tidak kenal bandnya, saya berhasil dibikin suka sama lagunya--dari segi untaian kata

Untuk novel setebal ini sebenarnya konfliknya terbilang datar, hampir tidak ada kejutan berarti. Untung penulis pandai mewarnainya. Dari situlah saya kagum, penulis menuturkan setiap adegan sangat terperinci tanpa membuat saya bosan untuk mengikutinya. Plotnya memang lambat, sangat lambat malah. Tapi jika dicermati baik-baik, ada unsur kekuatan di balik itu. Penulis pandai menopang ceritanya dengan hal-hal kecil agar selamat sampai tujuan tanpa dicampakkan pembacanya.

Saya suka hubungan Layken dengan ibunya. Peran orangtua dan anak benar-benar ditonjolkan di sini. Yang unik adalah Will, penulis tidak pernah secara khusus menjabarkan sosoknya, tapi melalui kalimat-kalimat sederhana saya yakin, ia pribadi yang menawan. Penulis punya cara tersendiri menghidupkan tokohnya tanpa memaksa pembaca meneliti setiap inci anggota tubuhnya.

Penulis tidak sekadar mengarang cerita ini, tapi juga memasuki dan terlibat di dalamnya. Tak ada satu bagian kecil pun yang ia munculkan hanya sepintas, semua akan diungkit lagi dan menjadi untaian peristiwa menarik hingga akhir.

Membaca novel ini saya jadi mengenal slams--seni pertunjukan puisi. Selingan beberapa puisi cukup menghibur, serupa jeda dari pekikan konflik.

Dalam sebuah cerita ada kalanya tokoh pendamping lebih menarik daripada tokoh utama. Itulah yang saya rasakan pada sosok Eddie. Di tengah masalah hidupnya yang tak kalah hebat dari tokoh utama, ia berhasil mencuri perhatian. Darinya kita bisa belajar banyak atas penerimaan terhadap takdir.

Selain plot yang agak lambat, tidak ada yang kurang dari novel ini. Tapi karena terjemahan, saya butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, gaya hidup, terlebih sekolahnya yang beda banget dengan Indonesia. Konflik utamanya pun, kalau itu di Indonesia, pasti tidak perlu dibesar-besarkan.

Novel ini cocok banget untuk para remaja yang tengah beranjak dewasa. Bahwa ada hal yang harus diutamakan daripada cinta--tanpa mematikan cinta itu sendiri. Bahwa kepala dan hati harus berimbang. Dan keterbatasan harus dilampaui, sebab ia ada memang untuk dilampaui.

2 komentar: