Minggu, 29 Oktober 2017

Review Novel: By Your Side


Judul            : By Your Side

Penulis        : Bulan Nosarios

Penerbit      : Gramedia Pustaka Utama

Tebal            : 296 hlm

ISBN             : 9786020304519

Blurb:
Bagi Erga, Kania adalah pusat dunianya. Erga bahkan tidak bercita-cita muluk, hanya ingin menua bersama Kania. Masalahnya adalah, dia tidak pernah mengatakan hal itu pada Kania. Hanya bertahan dalam rindu diam-diam. Selama bertahun-tahun.

Karena, lihat saja gadis itu....
Kania dokter cemerlang yang sedang melaju meraih cita-citanya, tidak berniat berhenti untuk hal-hal sepele dan cengeng, seperti jatuh cinta dan patah hati. Dia merasa puas dengan persahabatan stabil yang ditawarkan Erga. Meski diam-diam hatinya menginginkan lebih, karena bersahabat saja rasanya tak lagi cukup. Namun, bagaimana dia bisa berdamai dengan hal-hal yang tak pasti?

“Kita terbiasa merencanakan banyak hal yang mudah kita jalani, Kania. Tapi Tuhan membuat rencana supaya kita menjadi kuat. Sedikit hal yang tidak pasti, sedikit kepedihan, sedikit kebimbangan, begitulah hidup.”

_*_

Alur Cerita:
“Untuk pertama kalinya, Erga melihat Kania tersenyum lebar. Saat itu ia pertama kali tahu bahwa ada yang lebih cemerlang daripada matahari pagi. Kania.”_(hal 60)

Erga kenal Kania sejak masa ospek, dan langsung menyukai gadis itu tanpa berusaha mencari tahu alasan pastinya. Sudah delapan tahun, tapi tak sekali pun ia mengutarakan perasaannya secara lisan, meski secara tingkah laku sudah teramat sering. Selalu malah. Ia menikmati kedekatan dan caranya menjalin hubungan dengan gadis itu. Bukan berarti ia tak pernah mencoba menjalin hubungan dengan gadis lain, namun lagi-lagi terbukti, Kania menempati ruang paling besar di hatinya.

Terkadang Kania iri melihat kehidupan orang lain yang penuh warna, tapi ia sama sekali tak menyesali jalan hidupnya yang lurus-lurus saja hingga menggapai apa yang ia cita-citakan. Namun tak sampai di sini, Kania masih punya serentetetan prioritas sebelum mulai memikirkan cinta. Maka tak heran bila tawa, sikap, dan hal lainnya seolah terhalagi oleh sesuatu.

Kania tak pernah sekali pun jaga jarak dari Erga. Buktinya, semua orang menganggap mereka pacaran. Tapi sedekat apa pun mereka di mata orang lain, Erga paham betul, Kania menggariskan sesuatu di hubungan mereka. Namun ketika seseorang dari masa lalu Erga kembali muncul dan seolah tengah mencari celah untuk mengetuk pintu hati Erga, Kania mendadak khawatir--tanpa paham apa yang ia khawatirkan.

Susah memang. Erga berusaha mendapatkan sesuatu yang tak pernah benar-benar ia minta, sedang Kania mencoba mempertahankan sesuatu yang tak pernah benar-benar ia miliki.

Waktu seolah berjalan di tempat. Erga masih pada perasaannya, yang terkadang memucuk hijau, namun bisa saja layu di saat bersamaan. Sudah ribuan pesan ia titip pada angin, yang pasti satu dua berlabuh jua di tempat seharusnya. Namun sekali lagi, waktu seolah berjalan di tempat.

Kania masih seorang perencana hebat yang menderetkan serapi mungkin rangkaian cita-cita yang harus ia capai secepat mungkin. Dan sayangnya, tidak ada Erga di sana. Atau ia hanya tidak ingin mengakuinya.

“Kania tidak pernah melakukan sesuatu yang impulsif, sepasti ia tidak pernah memakai baju kusut. Dan mengenai rencana hidup, ia tahu benar bagaimana kehidupan dokter, apalagi ketika nanti ia mengambil pendidikan spesialis. Ia tidak berani berharap masih memiliki waktu bersama Erga.”_(hal 127)

Andai Kania bisa menyuarakan isi hatinya, ia ingin memiliki Erga tetap seperti ini dulu, tanpa ikatan. Tapi, bukankah itu egois? Sebagai seseorang yang masih berstatus sahabat, seharusnya ia merelakan apa pun yang terbaik untuk Erga. Termasuk bersatu kembali dengan seseorang dari masa lalu, Nina. Di mata Kania, mereka seperti pasangan yang sedang mencoba merajut kembali sesuatu yang belum tuntas. Dan itu menyakitkan bagi Kania tanpa sepengetahuan siapa pun.

Bukan jenuh, terlebih lelah, Erga hanya semakin tidak melihat peluang untuk mengisi satu ruang yang masih bergeming di hati Kania. Dari dulu ia tak pernah bermasalah dengan kepercayaan diri, tapi bagaimana jika dr. Bian yang menurutnya jauh lebih sempurna darinya kini hadir di kehidupan Kania?

“Sungguh aneh perasaan rindu yang muncul diam-diam ini.”_(hal 137)

Erga mulai merindukan Kania. Tapi ada hal lain yang berusaha dipahaminya. Bagaimana bisa ia tidak bertemu Kania selama beberapa hari? Tempat tinggal Kania menyatu dengan tempat kerjanya. Tak mungkin seperti itu bila tak ada jarak tak kasat mata yang kian menyata di antara mereka, sejak kehadiran masing-masing orang yang sesungguhnya tak pernah benar-benar bermaksud mengusik pertemanan mereka.

Di mata Kania, Erga mulai menunjukkan kedekatannya dengan Nina. Sedang di mata Erga, Kania tak pernah sekali pun menunjukkan rasa keberatan. Alih-alih mencegah kedekatan mereka, Kania seolah menyerang balik dengan menunjukkan hal-hal terhadap dr. Bian yang sungguh di luar perkiraan Erga.

Maka sekali lagi tak ada kemajuan apa-apa, selain luka yang perlahan-lahan tumbuh dan membuat keduanya seperti orang asing.

Kania meminta ruang, Erga mengabulkan. Ruang yang pada akhirnya dihuni rindu, benci, gelisah, muak, dan hal tak menentu lainnya secara bersamaan. Mereka harus bersikap lebih dewasa untuk benar-benar memahami apa yang tengah terjadi.

Bagaimana akhir kisah rumit mereka? Segera miliki bukunya dan baca sendiri, ya. Sebab menjelang ending, ketika Erga akhirnya mengambil keputusan (yang tidak mungkin saya bocorkan di sini), itu benar-benar dramatis. Pokoknya rugi kalau nggak baca (pasang wajah maksa). Hehehe ....

_*_

Review:
Membaca novel ini seperti sedang duduk di dalam bioskop, menonton langsung filmnya. Keadaan di sekeliling tokoh dinarasikan sedetail mungkin tanpa menjemukan. Penulis paham, mana yang harus dituliskan dan mana yang lebih baik dibebaskan dalam ruang imajinasi pembaca.

Berhubung tokoh Kania seorang dokter, membuat novel ini secara tidak langsung cukup informatif di beberapa bagian, meski bahasanya agak berat juga untuk orang yang buta dunia medis macam saya ini. Hehehe ....

Hal lain yang saya suka, penulis menuang nuansa roman dalam cerita ini tanpa memaksakan berpuitis ria. Kalimatnya sederhana, sesuai takaran, tapi bikin kangen kalau ditinggal lama-lama.

Sepanjang mengikuti kisah Erga dan Kania, perasaan saya campur aduk. Baper, lucu, nyesek, bisa muncul di halaman yang sama. Ajaibnya, perasaan kedua tokoh utama itu tersampaikan dengan baik. Kadang saya merasa di posisi Erga yang mungkin merasa diabaikan, tapi kadang pula saya merasa di posisi Kania yang memang harus mempertahankan komitmen.

Namun, plotnya memang terkesan lambat. Konflik cerita seolah hanya berkisar di isi kepala Erga dan Kania. Hampir tidak ada kejutan. Untunglah, di alur cerita yang mengalir ringan tanpa banyak tanjakan, penulis menanamkan sesuatu yang sukses menjaga kenikmatan baca hingga akhir.

Menurut saya kekuatan novel ini ada pada kedalalaman kata per kata, bukan lompatan-lompatan konflik. Banyak quote berbobot yang tidak sekadar menonjolkan romantisme belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar