Di kata pengantarnya, Ansar Siri
mengatakan kalau novel ini adalah hasil karyanya waktu SMA. Sebuah jempol patut
diacungkan di sini. Seorang siswa SMA yang melahirkan novel ini? Aku kagum.
Kagum karena aku waktu SMA sama sekali belum punya karya.
Mungkin itu hanya sedikit prolog biar sang penulis senang dapat pujian
hehehe... Jujur, setiap ada teman (kebanyakan yang usianya jauh lebih muda
dariku/pelajar) yang minta diulas karyanya, aku biasanya lebih banyak
memberikan pujian dibanding kritik/celaan. Misalnya: 'wah, untuk ukuran pemula,
kamu sudah hebat lho?', sedang untuk kritikan biasanya aku mengatakan 'tulisanmu sudah bagus kok, kamu
hanya perlu sering-sering banyak membaca dan menulis.'
Ya, banyak orang terutama pemula yang kadang langsung jatuh ketika karyanya
dikritik, tidak ingin menulis lagi karena langsung down saat mendapat kritikan pedas (meski banyak juga yang kemudian
merasa tertantang untuk membuat karya yang lebih baik). Memikirkan kemungkinan
pertama, makanya aku selalu lebih memberikan porsi pujian lebih tinggi daripada
kritikan.
Tapi khusus untuk DCTN, aku
tidak akan seperti itu. Atas permintaan sang penulis langsung yang ingin novel DCTN dikuliti olehku, maka tak satu
baris pun kalimat dalam novel itu yang kulewatkan untuk dibaca. Aku yakin,
sepedas apa pun nanti hasil ulasanku, tak akan membuat penulis down. Aku yakin, sepedas apa pun nanti
kritikanku, akan membuat penulis semakin tertantang untuk menulis lebih baik
lagi di masa datang. Aku yakin, setelah ini ia tak akan membenciku. Mengapa aku
yakin? Karena aku 'mengenal' penulisnya, meski hanya lewat dunia maya.
Baiklah, itu hanya pengantar. Kita langsung ke acara pembedahan. Ansar,
tarik napas dulu ya, Dek :)
· Hal pertama yang ingin kuulas adalah mengenai tata bahasa,
Ejaan yang Disempurnakan (EYD), pemakaian tanda baca, dan lain-lain yang berkenaan
dengan itu. Sangat banyak sekali kesalahan hal-hal tersebut dalam buku ini.
Jika hanya satu atau dua, itu bisa dimaafkan, tapi ini terjadi hampir dalam
setiap lembaran novel DCTN. Jika
buku ini tanpa sentuhan editor, aku maklum hal itu, mengingat naskah ini
ditulis waktu masih SMA. Dan
kalaupun sebelum mengirim tulisan ini ke penerbit Ansar melakukan baca ulang,
revisi dan editan kecil-kecilan semampunya, toh nyatanya kesalahan-kesalahan
itu masih terlihat.
Yang mana sih
kesalahan yang kumaksud? Aku ambil saja beberapa contoh ya? Karena kalau
kuberitahukan semua, aku yakin catatanku ini justru lebih panjang dari novelnya
sendiri hihihi.
Banyak kesalahan
dalam pemakaian huruf besar, seperti pada kata ayah dan ibu. huruf pertama dari
kata ayah dan ibu adalah kapital jika itu berbentuk kata sapaan yang terdapat
dalam kalimat. Tapi jika kata ayah dan ibu terdapat dalam paragraf yang bukan
dialog, maka kita menuliskannya dengan huruf kecil. Hal ini berlaku buat kata
paman, adik, bibi, Tante, dll.
Contoh: "Mau kemana Ibu
hari ini?"
Aku mengejar ibu itu sampai ke simpang jalan.
"Mia, ibu
kamu tidak ada di rumah, ya?"
"Aku akan pergi." Kata Andi (salah)
"Aku akan pergi." kata Andi (benar)
Itu sedikit ulasan tentang tata bahasa, ya? Bisa dicek di
dalam novel, banyak kesalahan-kesalahan tersebut terdapat. Hal ini memang sepenuhnya tugas editor. Dan
sebagai seorang penulis, sudah sebaiknya juga kita menjadi editor pertama atas
karya kita.
·
Sekarang
kita lanjut lebih dalam. Novel ini menurutku kebanyakan dialog. Porsi dialog
dalam novel ini mungkin lebih dari 80% bahkan mendekati 90%. Tidak menyalahi
memang, tapi karena aku yang disuruh menilai, aku kurang menyukai dialog yang
terlalu banyak. Hal-hal yang tidak penting dibuat dalam bentuk dialog ada
baiknya dipaparkan dalam bentuk narasi atau deskripsi saja. misalnya begini:
Dalam bentuk
dialog:
"Kamu mau ke
mana?" tanyaku
"Ke
pasar." jawab Iwan tanpa menoleh
"Dengan
siapa?" aku bertanya lagi
"Emang kenapa,
mau ikut?" Iwan menatap ke arahku sambil tersenyum.
"Iya."
kataku sambil membalas senyumannya
Dalam bentuk
narasi:
"Kamu mau ke
mana?" tanyaku.
Tanpa menoleh Iwan
mengatakan kalau ia mau ke pasar. Lalu kutanyakan dengan siapa ia akan pergi.
Iwan menatap ke arahku. Sambil tersenyum kemudian ia berkata kalau ia akan pergi
sendiri. "Mau ikut?" lanjutnya.
Aku membalas
senyumannya dan langsung menganggukkan kepala.
Tidak ada yang
salah dengan dialog pada contoh pertama, tapi aku lebih menyukai versi yang
kedua. Di dalam novel DCTN,
dialog-dialog seperti halnya contoh di atas sangat banyak terdapat, hampir pada
setiap halaman novel.
·
Alur
cerita novel DCTN mengalir dengan lancar dari Bab A sampai Bab Z. Begitu runut.
Rapi. Tidak terlihat klimaks atau kejutan-kejutan yang berarti. Ada memang
klimaks yang terdapat dalam novel ini, tapi tidak begitu runcing.
Menurutku, novel
yang bagus itu tidak harus selalu runut dari Bab A sampai Bab Z. Tak ada
salahnya memulai dari tengah, nanti flash
back ke awal. Atau tunjukkan langsung permasalahannya di awal cerita, dan
pelan-pelan diurai dari awal mengapa permasalahan itu terjadi dan kemudian baru
diakhiri.
Tidak ada yang
salah dengan novel DCTN yang
mengalir lancar dari A hingga Z. Tapi seperti yang dikatakan tadi, alur
ceritanya menurutku terlalu datar, kejutan-kejutan dan klimaks yang terdapat di
dalam tidak begitu 'wah'. Apalagi tema yang diangkat bukanlah tema yang unik,
tapi tema yang sudah umum dan banyak terdapat dalam novel-novel lain atau
sering kita tonton dalam drama-drama dan film di televisi.
Mengangkat tema
yang sudah umum ke dalam sebuah cerita tidak salah, hanya saja kita harus bisa
membawakannya dengan cara yang tidak umum alias unik. Sebab jika diceritakan
dengan cara biasa, akan terasa monoton dan membosankan.
Untuk novel DCTN sendiri, akan lebih baik menurutku
jika Bab 10 dijadikan bab pertama. Bermula dari kisah cinta Fahran dan Aida.
Lalu dilanjutkan dengan pertemuan Mia dengan Ustadz Ansara. Lalu dari sana
cerita mundur ke belakang, saat pertama kali Mia dan Ustadz Ansara (Dirga)
bertemu di TPU. Begitu selanjutnya hingga mereka berpisah, Mia berkenalan
dengan Evan dan menikah. Lalu baru balik lagi ke suasana pesantren di mana
Ustadz Ansara kemudian memberikan penjelasan atas apa yang selama ini terjadi.
· Hal yang menurutku paling mengganjal adalah tidak dijumpainya
tokoh antagonis dalam novel ini. Sebagaimana kita tahu, tokoh baik (protagonis)
akan selalau berhadapan dengan tokoh jahat (antagonis). Jalinan kisah merekalah
yang nanti naik turun akan memberikan kejutan atau klimaks kepada pembaca.
Dan di dalam novel
DCTN, tidak ada tokoh antagonis ini. Semua tokohnya adalah orang baik. Bukankah
ada Datuk Maringgih dalam novel Siti Nurbaya sebagai tokoh antagonisnya? Ada
Voldemort dalam novel Harry Potter sebagai penjahatnya. Atau kita bisa baca
tokoh ibu tiri dalam cerita Cinderella sebagai tokoh antagonis. Bahkan dalam
film, kita pasti menemukan kenyataan bahwa pemainnya ada yang berkarakter baik
dan ada yang berperan jahat.
· Namun dari semua kekurangan itu. Setelah membaca dari bab
awal hingga akhir, aku sangat suka dengan ending
cerita ini. Penulis mengakhiri cerita ini dengan sangat indah. Mungkin ending inilah yang membuatku bisa
memaafkan segala kekurangan yang ada di awal-awal. Bagaimanapun juga aku harus
jujur, ketidakpuasanku terbayar lunas saat membaca bab terakhir dan membaca
bagaimana penulis dengan begitu indah mengkahiri kisah ini. Untuk ini aku patut
acungkan jempol.
Mungkin itu sedikit
ulasan dariku. Untuk novel-novel selanjutnya, semoga Ansar tidak mengabaikan
apa-apa yang kuceritakan di atas. Tentang tata bahasa, tentang alur yang maju
dan mundur (kalaupun datar harus diceritakan dengan unik), tentang porsi dialog
yang harus dikurangi, dan tentang penambahan tokoh antagonis.
Udah, segitu aja.
Maaf atas segala kelancangan. Bagaimanapun juga memberikan kritik itu sangat
gampang. Menilai kekurangan orang lain atau karya orang lain itu sangat mudah.
Ketika kita sendiri yang mempraktekkannya, belum tentu bisa.
salam
Uda Agus
NB.
Dek, udah puas, kan dengan ulasannya? Tapi aku hanya bisa memberikan kritik. Karyaku
sendiri juga tidak sempurna, nanti bisa dibuktikan saat bukuku sudah dibaca. Ditunggu
karya selanjutnya. Tetap menulis ya? Tetap semangat. Menulislah saat memang
ingin menulis. Jangan menulis saat mood
tidak baik. Jika ada kendala, kita sama-sama saling diskusi. Kita sama-sama
belajar. Sama-sama mengisi. Suatu saat mungkin bisa berkolaborasi. Amin.
Kereen! Jadi pengen diulas sama Uda Agus. :D
BalasHapus