Judul : Rumah Mande
Penulis : Irhayati Harun dan Uda Agus
Penerbit : Elex Media Komputindo
Tebal : 162 hlm
ISBN : 978-602-02-2376-6
BLURB
Mande, binar cintaku ini tetap milikmu. Meski
binar bahagia di matamu yang keriput redup ditelan usia. Tak lagi memiliki arti
seperti dulu.
Mande, kurindu sinar kecemasan di matamu. Saat
mendapati diriku bermuram durja. Biarlah kini kecemasan itu menjadi milikku. Yang
kian hari dipenuhi rasa putus asa.
Mande, tak akan mungkin kulupa. Kedua pelupuk
matamu yang menganak sungai oleh air mata. Di saat bermunajat di sepertiga
malam demi keberhasilan ananda, tapi kini kedua pelupuk mata tuamu selalu basah
oleh air mata derita.
Oh Mande, waktu telah menjawab segala. Betapa
cintamu selalu mengalir untukku. Bagaikan ricik air cinta yang tak pernah
kering di hatimu.
Sebuah
novel yang terinspirasi dari kisah nyata. Cerita ini dimulai dari rumah Mande
(ibu) yang hancur total akibat gempa Padang pada tahun 2009, karena alasan itu
Mande harus mengungsi ke rumah putrinya (Upik) di Jakarta. Di Jakarta, Mande
bercerita kepada Upik tentang kisah hidupnya dan juga tentang banyaknya
kenangan yang terjadi di rumahnya yang hancur tersebut. Sebenarnya anak-anaknya
ingin Mande-nya tinggal di Jakarta saja, selain sudah tua dan sakit-sakitan,
juga karena kedua anaknya yang sudah dewasa menetap di Jakarta, tapi Mande
bersikeras untuk tetap bisa tinggal di kampung halamannya, dan berharap
rumahnya yang di kampung dalam Pariaman itu dibangun lagi.
Secara garis
besar, berturut-turut kenangan Mande yang diceritakannya kepada Upik adalah:
1.
Tentang ibunda Mande (neneknya Upik) yang harus
menerima nasib dimadu karena suaminya menikah lagi. Pada bagian ini saya
melihat ketegaran hati seorang perempuan yang rela memendam rasa sakit demi
mempertahankan keutuhan keluarga.
“Mande tidak akan pernah minta cerai pada abakmu. Ibarat rendang,
sebuah keluarga harus lengkap. Tak boleh ada yang kurang. Haruskah keluarga
kita kehilangan abak untuk dikuasai oleh keluarga barunya? Sungguh! Mande tak
akan rela kalau itu sampai terjadi.” (hal 29)
2.
Tentang Mande yang dijodohkan oleh ibunya
seperti kisah Siti Nurbaya, dengan duda beranak lima pada usianya yang belum
genap 20 tahun. Pada bagian ini ritme cerita mulai meningkat. Ketika terjadi
penolakan dan usaha melarikan diri. Meski pada akhirnya perjodohan itu tetap
terjadi. Uniknya, terjadinya perjodohan ini sangat berbeda dengan kisah-kisah
yang sudah ada. Ada unsur lain yang membuatnya memang harus terjadi. Bahkan, di
sini dipaparkan bahwa cinta yang bisa tumbuh setelah pernikahan memang benar
adanya. Seperti apa? Silakan hunting bukunya
dan baca sendiri.
Kupandangi wajah suamiku yang mulai keriput. Sisa-sisa ketampanannya
masih terlihat meski usianya sudah beranjak senja. Rasanya tak percaya kalau
aku akan menjadi istri keempat sekaligus terakhir baginya. Sedikit pun aku tak
menyesal menikah dengannya. Karena selama menjadi istrinya, aku sudah puas
mengecap bahagianya hidup berumah tangga. (hal 122-123)
3.
Tentang anak kesayangannya, Bintang, yang
memiliki prestasi cemerlang walaupun dengan segala keterbatasan mereka. Pada bagian
ini saya mendapatkan aliran energi positif yang sangat kuat dari sosok Bintang.
Semangatnya, ketekunannya, patut dicontoh dan diaplikasikan ke semua aspek
kehidupan.
Aku begitu bahagia hingga tanpa sadar bersujud syukur di lantai. Serasa
mimpi mendengar Bintang akan sekolah di luar negeri. Tak sia-sia usaha keras
bintang selama ini. Akhirnya dia berhasil mencapai cita-citanya untuk bisa
sekolah ke luar negeri bebas biaya. (hal 125)
Dari ketiga
poin di atas, untuk sebuah drama keluarga buku ini sangat komplit. Sarat akan
makna perjuangan dan bagaimana memenangkan diri dari ego. Konflik yang diangkat
sebenarnya cukup umum, tapi sentuhan bumbu dari kedua penulis membuatnya terasa
beda dan menarik untuk dijajaki hingga akhir.
Membaca novel
ini saya merasa dinasehati langsung oleh ibu. Sosok Mande beserta petuah-petuahnya
terasa nyata. Berikut kalimat Mande yang paling saya suka, pas banget buat
kita-kita yang berkecimpung di dunia literasi;
“Teruslah berjuang mengukir dunia dengan tulisanmu yang penuh manfaat
bagi semua orang. Sebab menulis adalah sebuah perjuangan yang akan kau kecap
imbalannya di akhirat kelak. Jadi jangan putus asa dulu. Allah pasti akan
memberikan kemudahan bila niatmu benar.” (hal 79)
Saya selalu
suka dengan novel yang mengandung unsur kedaerahan. Novel ini salah satunya. Adanya
unsur tersebut membuat saya merasa berkunjung ke daerah Padang yang menjadi
latar cerita ini. Meski hanya dijembatangi oleh tulisan, saya jadi paham
beberapa jenis sapaan yang biasa digunakan orang Padang sehari-hari—yang sebelumnya
sama sekali belum saya tahu.
Novel ini
menggunakan dua sudut pandang. Di awal, kita akan disuguhkan dengan kisah Upik
yang sebenarnya hanya pengemas dari kisah Mande yang merupakan inti cerita. Ketika
kita berhadapan dengan kisah Mande, di sanalah sudut pandang berubah. Unik. Tapi
jujur, di awal-awal saya sempat bingung karena banyaknya tokoh Mande yang
muncul hampir bersamaan. Saya terkadang sulit membedakan. Tapi makin ke tengah,
setelah merasa ikut terlibat dalam cerita, kebingungan tadi sirna.
Sepertinya,
apa pun itu tidak luput dari yang namanya kekurangan, pun dengan buku ini. Mata
jeliku menemukan typo di halaman 68. Tapi sumpah, kesalahan kecil itu tidak
mengurangi kenikmatan cerita.
Cerita ini
berakhir indah, meski ada bagian tertentu yang membekaskan pilu. Aku suka
bagian epilog yang menghadirkan kisah cinta Upik yang dikemas sederhana,
menggelitik, dan sangat manis. Ada cinta yang berbalas serta impian yang
terwujud.
Terakhir, saya menangis membaca bab-bab akhir novel ini.
Kenapa? Silakan cari tahu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar