Rabu, 08 Februari 2017

Review Novel: Rumah Mande





Judul                        : Rumah Mande

Penulis                      : Irhayati Harun dan Uda Agus

Penerbit                    : Elex Media Komputindo

Tebal                        : 162 hlm

ISBN                        : 978-602-02-2376-6

BLURB
Mande, binar cintaku ini tetap milikmu. Meski binar bahagia di matamu yang keriput redup ditelan usia. Tak lagi memiliki arti seperti dulu.

Mande, kurindu sinar kecemasan di matamu. Saat mendapati diriku bermuram durja. Biarlah kini kecemasan itu menjadi milikku. Yang kian hari dipenuhi rasa putus asa.

Mande, tak akan mungkin kulupa. Kedua pelupuk matamu yang menganak sungai oleh air mata. Di saat bermunajat di sepertiga malam demi keberhasilan ananda, tapi kini kedua pelupuk mata tuamu selalu basah oleh air mata derita.

Oh Mande, waktu telah menjawab segala. Betapa cintamu selalu mengalir untukku. Bagaikan ricik air cinta yang tak pernah kering di hatimu.

            Sebuah novel yang terinspirasi dari kisah nyata. Cerita ini dimulai dari rumah Mande (ibu) yang hancur total akibat gempa Padang pada tahun 2009, karena alasan itu Mande harus mengungsi ke rumah putrinya (Upik) di Jakarta. Di Jakarta, Mande bercerita kepada Upik tentang kisah hidupnya dan juga tentang banyaknya kenangan yang terjadi di rumahnya yang hancur tersebut. Sebenarnya anak-anaknya ingin Mande-nya tinggal di Jakarta saja, selain sudah tua dan sakit-sakitan, juga karena kedua anaknya yang sudah dewasa menetap di Jakarta, tapi Mande bersikeras untuk tetap bisa tinggal di kampung halamannya, dan berharap rumahnya yang di kampung dalam Pariaman itu dibangun lagi.
            Secara garis besar, berturut-turut kenangan Mande yang diceritakannya kepada Upik adalah:
1.      Tentang ibunda Mande (neneknya Upik) yang harus menerima nasib dimadu karena suaminya menikah lagi. Pada bagian ini saya melihat ketegaran hati seorang perempuan yang rela memendam rasa sakit demi mempertahankan keutuhan keluarga.

“Mande tidak akan pernah minta cerai pada abakmu. Ibarat rendang, sebuah keluarga harus lengkap. Tak boleh ada yang kurang. Haruskah keluarga kita kehilangan abak untuk dikuasai oleh keluarga barunya? Sungguh! Mande tak akan rela kalau itu sampai terjadi.” (hal 29)

2.      Tentang Mande yang dijodohkan oleh ibunya seperti kisah Siti Nurbaya, dengan duda beranak lima pada usianya yang belum genap 20 tahun. Pada bagian ini ritme cerita mulai meningkat. Ketika terjadi penolakan dan usaha melarikan diri. Meski pada akhirnya perjodohan itu tetap terjadi. Uniknya, terjadinya perjodohan ini sangat berbeda dengan kisah-kisah yang sudah ada. Ada unsur lain yang membuatnya memang harus terjadi. Bahkan, di sini dipaparkan bahwa cinta yang bisa tumbuh setelah pernikahan memang benar adanya. Seperti apa? Silakan hunting bukunya dan baca sendiri.

Kupandangi wajah suamiku yang mulai keriput. Sisa-sisa ketampanannya masih terlihat meski usianya sudah beranjak senja. Rasanya tak percaya kalau aku akan menjadi istri keempat sekaligus terakhir baginya. Sedikit pun aku tak menyesal menikah dengannya. Karena selama menjadi istrinya, aku sudah puas mengecap bahagianya hidup berumah tangga. (hal 122-123)

3.      Tentang anak kesayangannya, Bintang, yang memiliki prestasi cemerlang walaupun dengan segala keterbatasan mereka. Pada bagian ini saya mendapatkan aliran energi positif yang sangat kuat dari sosok Bintang. Semangatnya, ketekunannya, patut dicontoh dan diaplikasikan ke semua aspek kehidupan.

Aku begitu bahagia hingga tanpa sadar bersujud syukur di lantai. Serasa mimpi mendengar Bintang akan sekolah di luar negeri. Tak sia-sia usaha keras bintang selama ini. Akhirnya dia berhasil mencapai cita-citanya untuk bisa sekolah ke luar negeri bebas biaya. (hal 125)

            Dari ketiga poin di atas, untuk sebuah drama keluarga buku ini sangat komplit. Sarat akan makna perjuangan dan bagaimana memenangkan diri dari ego. Konflik yang diangkat sebenarnya cukup umum, tapi sentuhan bumbu dari kedua penulis membuatnya terasa beda dan menarik untuk dijajaki hingga akhir.
            Membaca novel ini saya merasa dinasehati langsung oleh ibu. Sosok Mande beserta petuah-petuahnya terasa nyata. Berikut kalimat Mande yang paling saya suka, pas banget buat kita-kita yang berkecimpung di dunia literasi;

“Teruslah berjuang mengukir dunia dengan tulisanmu yang penuh manfaat bagi semua orang. Sebab menulis adalah sebuah perjuangan yang akan kau kecap imbalannya di akhirat kelak. Jadi jangan putus asa dulu. Allah pasti akan memberikan kemudahan bila niatmu benar.” (hal 79)

            Saya selalu suka dengan novel yang mengandung unsur kedaerahan. Novel ini salah satunya. Adanya unsur tersebut membuat saya merasa berkunjung ke daerah Padang yang menjadi latar cerita ini. Meski hanya dijembatangi oleh tulisan, saya jadi paham beberapa jenis sapaan yang biasa digunakan orang Padang sehari-hari—yang sebelumnya sama sekali belum saya tahu.
            Novel ini menggunakan dua sudut pandang. Di awal, kita akan disuguhkan dengan kisah Upik yang sebenarnya hanya pengemas dari kisah Mande yang merupakan inti cerita. Ketika kita berhadapan dengan kisah Mande, di sanalah sudut pandang berubah. Unik. Tapi jujur, di awal-awal saya sempat bingung karena banyaknya tokoh Mande yang muncul hampir bersamaan. Saya terkadang sulit membedakan. Tapi makin ke tengah, setelah merasa ikut terlibat dalam cerita, kebingungan tadi sirna.
            Sepertinya, apa pun itu tidak luput dari yang namanya kekurangan, pun dengan buku ini. Mata jeliku menemukan typo di halaman 68. Tapi sumpah, kesalahan kecil itu tidak mengurangi kenikmatan cerita.
            Cerita ini berakhir indah, meski ada bagian tertentu yang membekaskan pilu. Aku suka bagian epilog yang menghadirkan kisah cinta Upik yang dikemas sederhana, menggelitik, dan sangat manis. Ada cinta yang berbalas serta impian yang terwujud.
            Terakhir, saya menangis membaca bab-bab akhir novel ini. Kenapa? Silakan cari tahu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar