Minggu, 29 Juli 2018

Review Kumcer: Merayu Langit


Judul            : Merayu Langit

Penulis        : Gunung Mahendra

Penerbit      : Jejak Publisher

Editor           : Iis Tentia Agustin

Layout          : Tim CV Jejak

Kover            : Ivan Eliansyah

Cetakan        : Pertama, September 2017

Tebal             : 148 hlm

ISBN              : 978-602-5455-16-2

Testimoni:
"Cinta, kenangan, dan mimpi disuguhkan dengan sederhana tapi tak kehilangan makna. Manis! Tulisan ini cocok untuk pembaca yang sedang mencari sesuatu dalam hidupnya."
(Sinta Yudisia, Ketua Forum Lingkar Pena (FLP), Psikolog, Penulis)

"Sekumpulan cerpen dalam Merayu Langit adalah bukti kepiawaian Gunung dalam mengolah kata-kata menjadi hidup dan berenerji, kata-kata yang melompat menghias dirinya. Karya yang sangat layak dibaca!"
(Rafif Amir Ahnaf, Ketus Wilayah Forum Lingkar Pena (FLP) Jawa Timur)

"Sebagaimana galibnya cerita fiksi, Merayu Langit, merambah dunia yang bahkan tidak pernah ada sesungguhnya, meski dengan nama-nama tempat yang bisa dikenali di dunia nyata. Ketertarikan penulisnya kepada daerah yang penuh gejolak karena ketidakadilan politik dunia, menjadi salah satu benang merah yang muncul dalam antologi ini. Pilihan yang menarik karena potongan-potongan kejadian, pertanyaan-pertanyaan yang muncul sesudahnya menyentuh siapa saja yang masih punya nurani. Siapa pun yang masih mau mendengarkan hati kecilnya."
(Antariksawan Jusuf, Ketua Organisasi Budaya Sengker Kuwung Belambangan)

"Membaca buku ini kita serasa masuk di sebuah restoran nan mewah. Segala menu siap disantap namun risiko harganya selangit. Buku yang kaya ide dan ketika membacanya terasa berat hingga dahi berkerut. Ceritanya beda, istimewa dan disajikan dengan sangat apik. Jagad sastra Indonesia harus waspada pada penulis pemula yang brilian ini. Buku pertama dan pantas disejajarkan dengan para peraih nobel sastra. Sungguh. Terakhir, 'kok bisa dia nulis cerita seperti ini?' Jika sudah larut ke dalam cerita, sensasinya sungguh dahsyat, sehingga tidak terasa ketika sudah sampai pada baris terakhir."
(Eko Cahyono, Pendiri Perpustakaan Anak Bangsa Malang)

***

Nukilan:
Buku ini dibuka dengan cerpen yang sangat unik. Penulis berhasil membuat kita terhanyut, bagaimana ketika sebuah benda mati menjadi saksi seorang pria menanggapi gejolak cinta di dadanya. Meski poin yang disembunyikan berhasil saya tebak, namun cerpen ini sangat menghibur.

“Paling tidak, aku telah menyelesaikan misiku dengan baik, sebelum dia menggeletakkanku, meninggalkanku sendiri dengan isi perut yang tak lagi tersisa, dan mencari pengganti yang lain.”_(Kutipan cerpen "Menyulam Pemanas Semesta"_hal 15)

Cerpen selanjutnya, penulis menonjolkan kepiawaian mendeskripsikan situasi di sekitar tokoh. Saya berhasil digiring ke terminal tempat Gunawan bernostalgia. Cara penulis menuangkan suasana hati tokoh pun terasa hidup. Melonya terasa.

“Mengingat-ingat rentetan kejadian itu, Gunawan merasakan berbagai perasaan yang saling berkelindan satu sama lain di dadanya. Senang, sedih, gundah, atau bahkan sukacita. Semua perasaan itu tidak dapat tergambarkan dengan utuh, abstrak.”_(Kutipan cerpen "Terminal Nostalgia”_hal 29)


Yang berhasil saya raba sejauh ini adalah, penulis beberapa kali membuka ceritanya dengan penggambaran situasi yang cukup dramatis dengan permainan kata yang tidak hanya enak dibaca, tapi juga penuh makna.

“Hentakan ribuan kaki menggetarkan permukaan bumi. Begitu panas, begitu pengap. Bahkan, pikiran terlalu sakit untuk berpikir. Tak ada tempat untuk bersandar. Berkeluh kesah. Menyelamatkan harta benda. Menolong sesama. Semua sibuk memikirkan cara meneruskan hidup yang tanpa arti itu. Tanpa arti, bila tak ada kepedulian sosial. Satu per satu jatuh bak daun berguguran.”_(Opening cerpen "Merpati dan Ribuan Matahari"_hal 82)

Menurut saya, beberapa opening sangat sukses memancing minat untuk lanjut membaca.

“Sayup-sayup terdengar bahana derap kaki yang menggetarkan unsur dasar penciptaan manusia. Mengiringi kepalan kehidupan yang kian menyiksa dada. Menyambut peluh yang kian membanjiri sekujur raga. Letupan berona merah jingga yang berkelap-kelip, seakan menjadi pengantar surat menuju Sang Sutradara Semesta. Kabut kepedihan, gelora kepiluan, semilir perih silih berganti menusuk kalbu.”_(Opening cerpen "Syahadat di Bawah Atraksi Dirgantara"_hal 94)

Makin ke belakang, penulis seolah mempertontonkan kebolehannya bercerita. Beberapa cerpen, untuk saya pribadi, butuh lebih dari sekali membacanya untuk benar-benar paham maksudnya. Bukan buruk, tapi karena benang merah yang diletakkan penulis memang agak misterius.

“Satu-satunya petunjuk paling mudah dia mengerti, yang dibeberkan Ibu dengan cara yang mengejutkan Jun, adalah dengan mempertemukannya denga Rara. Seorang gadis sepantarannya yang menjadi anak gadis seorang ibu-ibu penjual gorengan di Pasar Utama.”_(Kutipan cerpen "Merekahnya Cendawan Terakhir"_hal 133)

Di tengah rentetan kalimat dengan kandungan makna sedemikian pekat, sesekali penulis menyelipkan nuansa manis. Ini yang bikin gereget.

“Pacaran? Sepertinya tidak, karena Kumara telah mewanti-wanti bahwa dia tidak ingin menggunakan istilah itu untuk kedekatan mereka. Sahabat? Juga sepertinya tidak. Mungkin, lebih tepatnya sebuah pertemanan istimewa.”_(Kutipan Cerpen "Merayu Langit”_hal 144)

Bagaimana buku ini secara keseluruhan? Yuk, segera miliki dan temukan pengalaman membaca yang baru.

***

Review:
Pertama-tama, izinkan saya memuji perpaduan desain cover, warna, dan judul yang sangat menenangkan. Kedua, mengetahui seluruh cerpen dalam buku ini pernah tayang di media, tak heran jika saya dibikin jatuh cinta sedemikian mudah.

Tema yang diangkat cukup beragam, hingga pada perpindahan dari cerpen satu ke cerpen berikutnya punya peralihan rasa, semacam petualangan dalam aktivitas membaca yang menyenangkan.

Meski penulis banyak menggunakan perumpamaan, bahasanya tetap renyah, tanpa mengurangi makna dari kalimat itu sendiri.

Namun, (barangkali) terbuai kepiawaian meracik kata, dalam mendeskripsikan sesuatu terkadang terlalu datail hingga cerita terasa lambat. Selain tata cara penulisan yang kurang tepat, beberapa kata keseleo, saya juga menemukan peletakan tanda baca yang kurang tepat.

Overall, buku yang tergolong tipis ini lumayan sukses menghibur saya. Banyak hal baru yang belum pernah saya temukan di buku lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar