Judul : Menghimpun Butir Waktu
Penulis : Pangerang P. Muda
Penerbit : LovRinz Publishing
Tebal : 248 hlm
ISBN : 978-602-6652-26-3
Cerpen-cerpen Pangerang
P. Muda sudah kuat sejak gagasan. Ia bukan sekadar menulis tema cinta kaum
remaja, tetapi di dalamnya terkandung hubungan anak dan orang tua, bahkan
sejarah dan rahasia. Gaya ungkapnya serupa sungai di pegunungan: mengalir
lancar dan memercik segar. Kejutan di letakkan di berbagai tempat untuk
membangun cerita sehingga pembaca terjerat sampai akhir.
(Kurnia Effendi, penulis cerpen dan puisi)
Saya membaca kumpulan
cerpen Menghimpun Butir Waktu & Sehimpun Cerita lainnya dengan perasaan
nyaman. Cerita ditulis dengan bahasa yang rapi dan indah. Hubungan percintaan
antar tokoh di beberapa cerpen ditulis dengan paparan yang menyenangkan dan
bikin hanyut.
Tidak hanya mengenai
percintaan, beberapa cerpen bercerita tentang hubungan keluarga, juga beberapa
cerpen berlatar misteri. Namun, semuanya tetap dikemas manis, khas cerpen
remaja.
Dengan lembut dan manis,
Pangerang P. Muda mengajak kita merayakan cinta dengan bersahaja.
(Palris Jaya, penulis cerpen)
Dear kamu,
Telah kujanjikan padamu
banyak cerita, bahkan kamu bilang, kalau bisa sampai pada seribu satu cerita.
Sehimpun di antaranya
ada di sini: cerita tentang teman-temanmu, keluargamu, tetanggamu, kenalanmu,
juga cerita tentangmu.
Mulailah membacanya ….
(hal 1)
Sehimpun cerita
dalam buku ini pernah tayang di majalah ANITA Cemerlang periode 1988-1997. Artinya,
keseluruhan cerpen secara kualitas tidak diragukan lagi. Maka jangan heran,
begitu mulai membaca, kau seolah menemukan pemanis yang meminta keikhlasanmu
untuk mencecap hingga akhir. Secara konsep buku ini sangat matang, terbukti
dengan munculnya tiga pembagian yang mengatasnamakan cinta, misteri, dan
keluarga sebagai elemen utama. Saya rasa penulis juga sengaja menyusun cerpen
berdasarkan kekuatan. Jadi semakin ke belakang semakin gereget saja.
Dibuka dengan
cerpen pertama berjudul “Selamat Datang
Cinta” yang saya artikan sebagai gapura, menyambutmu untuk mulai menjelajahi
keseluruhan isi buku. Tak heran jika cerpen pertama ini datar-datar saja, kita
anggap sebagai pemanasan.
Tenang, penulis
tak suka lama-lama pemanasan. Di cerpen kedua, “Sandiwara di Hari Kamis” saya langsung suka. Di balik judul yang
unik, penulis membangun suasana cerita yang tegang-tegang lucu dan berakhir
manis. Rasanya seperti menikmati lollipop
coklat susu bersalut caramel. Maka bayangkan betapa lidahmu enggan berhenti
menjilatinya. Hehehe ….
Selain bahasa
yang lugas, ringan dan mudah dicerna, keunggulan lain dari buku ini adalah
opening yang selalu menarik. Misal pada cerpen “Benang-Benang Merah”,
Setiap menginap di vila, bila ia terbangun
di pagi hari yang langsung teringat adalah kabut tipis yang mengapung di atas
atap rumah-rumah penduduk. Dia suka melihat kabut itu, yang terus menipis
mengiringi gerak matahari, dan perlahan menampakkan atap-atap rumah di bawah
sana. dia merasa melihat selendang sutera putih yang dibentangkan lalu
dikoyak-koyak. (hal 161)
Cerpen-cerpen
dalam buku ini tidak melulu tentang cinta. Beberapa cerpen berbau misteri
terangkum di bagian kedua, membacanya membuat saya sesekali bergidik. Saya yakin
tidak sedang memegang buku horor—kovernya malah hijau telur asin yang
menenangkan—tapi penulis berhasil membangun ketegangan dengan takaran pas. Bahkan,
hubungan manusia dengan binatang pun tak luput dari imajinasi penulis. Karenanya
saya sangat suka cerpen “Anak Rusa
Berbulu Emas”, pesan sosialnya tersampaikan dengan baik.
“Kalian tamak, selalu tidak puas dengan satu
nyawa! Kembalikan bapakku, kembalikan kepalanya. Kalau tidak, akan kami ambil
pula kepalamu ….” (hal 116)
Kita tinggalkan
bagian kedua, beranjak ke bagian ketiga yang aduhai banjir air mata. Keseluruhan
cerita di bagian ini melibatkan peran keluarga, mengharu biru. Penulis kita
pintar memainkan emosi pembaca. Dari awal dielus-elus, lalu dicabik-cabik di
bagian terakhir ini. Seumpama sebuah rumah, maka bagian ketiga ini ruangan
khusus tempat penulis menyimpan semua hartanya, dalam hal ini cerita
terbaiknya. Tujuh kisah berbalut teka-teki dalam kehangatan keluarga sukses
membuat saya terpukau.
Karena bertemakan
keluarga, cerita-cerita di bagian ketiga ini lebih bersinggungan dengan
lingkungan sosial dan sarat makna. Cerpen “Istana
di Atas Bukit” misalnya.
“Banyak orang membangun hunian serupa istana
yang besar dan megah, indah dan mewah, tapi tidak betah berada di dalamnya. Sudah
lama saya ingin punya hunian kecil dan berada di atas bukit, walau sederhana
tapi terasa serupa istana, yang membuat betah berada di dalamnya.” (hal 153)
Terakhir, saya
acungkan dua jempol untuk kepiawaian penulis melahirkan cerita, bahkan dari
objek yang mungkin tidak terpikirkan oleh orang lain. Dalam hal ini perasaan
bunga pada cerpen “Bunga-Bunga Ayela”.
Ah, bunga saja punya perasaan, apalagi dia yang kamu taksir! Hehehe ….
“Perasaan bunga-bunga tidak pernah bohong. Orang
yang membawa aura kelembutan dan kebaikan, ketika mendekati bunga-bunga, maka
warna bunga-bunga itu seperti berubah lebih cerah dan geraknya semakin mekar. Sebaliknya,
bila yang mendekat itu orang yang membawa aura buruk, kasar atau jahat,
bunga-bunga itu seakan mengkerut dan mau layu.” (hal 210)
Pertanyaannya,
bagaimana reaksi bunga jika kamu yang mendekat? bertambah mekar atau malah
menggkerut? Sambil mencari tahu, mending baca dulu buku kumpulan cerpen ini.
Aku tidak berharap kamu
berhenti memintaku agar terus bercerita padamu, karena masih hampir seribu
cerita yang pernah kujanjikan padamu belum kuceritakan.
Aku.
(hal 243)