Kamis, 07 Februari 2019

Review Novel: Sepucuk Relikui


Judul            : Sepucuk Relikui

Penulis         : AlfianBudiarto

Penerbit       : AT Press Surabaya

Editor            : Ariny Nurul Haq

Layout          : Ratifa Mazari

Cover            : Ratifa Mazari

Cetakan        : Pertama, November 2018

Tebal             : 203 hlm

ISBN              : 978-602-0745-12-1

Blurb:

"Tembilahan, tanah pertama kakimu berpijak. Maka di sana pula kau akan menemukan semua kisah tentangmu, tentang aku, juga tentang bapakmu. Kembalilah, Nak. Kembalilah, maka kau akan menemukan kebenaran."

Di gelap yang kian beranjak pekat, Intan juga diam-diam menambahkan goresan tinta di lembar buku harian bersampul cokelat usang miliknya. Ade tidak pernah menyangka jika buku itu adalah peninggalan terakhir ibunya. Menjadi relikui. Sebab, keesokan harinya, sebelum mentari sempat menyingsing, ibunya itu telah dipanggil Tuhan. Perempuan lemah bertubuh ringkih tersebut kembali menghadap penguasa semesta.

***

Alur Cerita:

Lantaran sebuah peristiwa yang menyisakan luka di masa lalu, Ade beserta ibunya, Intan, meninggalkan Tembilahan, meninggalkan bapaknya dengan segudang bibit kebencian yang kemudian nenyubur seiring ia tumbuh.

Namun, belasan tahun sudah berlalu, barangkali banyak hal yang telah berubah, atau semacam kesalahpahaman yang sudah saatnya diperbaiki. Sebelum mengembuskan napas terakhir, Intan berpesan kepada Ade, agar anak itu kembali ke Tembilahan untuk menemukan jati dirinya yang sebenarnya. Pesan itu diperkuat ketika Ken, paman Ade menelepon untuk mengabarkan bahwa Ilham, bapak Ade sedang sakit. Ilham sangat ingin bertemu dengan Ade.

Bukan hal mudah ketika akhirnya Ade memutuskan untuk kembali ke Tembilahan, meski ia tak pernah bisa menebak apa yang akan ditemuinya di tanah kelahirannya itu.

"Bukan hal mudah untuk merajut kisah dari masa lalu yang kusut. Seperti benang yang gagal dipintal, ketika telah melilit dan membelit. Hanya kebimbangan tentang pilihan untuk mulai mengurainya atau malah memutuskannya."_(hal 40)

Begitu bertemu Bapak, kebencian Ade seketika runtuh nyaris tak berbekas. Mendekap tubuh ringkih Bapak yang kian rapuh, Ade mengalirkan segenap kerinduan yang tertampung selama ini. Anak dan bapak itu mulai menapaki kebersamaan perlahan-lahan, bertukar cerita, lalu menyibak apa-apa yang perlu dibenahi.
Dari awal Ade tak pernah bermaksud untuk menetap di Tembilahan. Pemuda itu merasa sudah punya masa depan di Kapuas Hulu, KalBar. Tapi ternyata Bapak sudah merancang banyak perihal kepulangannya ini. Belum sirna keterkejutan Ade setelah dijodohkan dengan gadis berhijab bernama Vivi, Bapak lalu memintanya mengurus madrasah yang selama ini dikelolanya.

Meski Ade belum mengambil keputusan apa-apa, ia tidak menolak untuk mengunjungi madrasah itu. Dan di kunjungan pertamanya itu, ia menemukan alasan untuk menerima permintaan Bapak. Bahkan tidak menutup kemungkinan untuk permintaan lainnya.

"Akhirnya ia merasa menemukan jawaban mengapa Bapak memintanya untuk menggantikan posisi beliau di madrasah ini. Binar kebahagiaan bocah-bocah kurang mampu ini pastilah jawabannya."_(hal 90)

Setelah perjodohan itu, Ade dilema. Pasalnya, ia sudah punya tambatan hati di Kalimantan sana. Antara cinta dan petuah orangtua. Di tengah pergolakan batin itu, sesuatu yang lebih dahsyat terjadi. Bapak mengembuskan napas terakhir di suatu pagi. Tentu saja Ade benar-benar terpukul. Jangankan untuk berbakti, sekadar berada di sisi Bapak untuk melunasi kerinduannya, rasanya belum cukup.

Di tengah kedukaan itu, kisah masa lalu perlahan terkuak, membuka tabir rahasia yang kemudian dijejali fakta-fakta mencengangkan. Bermula dari buku harian Ibu yang berisi penyelesalan telah meninggalkan Bapak, lalu disusul dengan kehadiran Ajeng--perempuan yang disebut-sebut penyebab perpisahan Bapak dan Ibu.

Segalanya menjadi terasa lebih membingungkan setelah tahu status Ajeng yang ternyata ibu kandung Vivi. Ada apa ini? Vivi yang tidak terima ibunya pernah merusak rumah tangga orang di masa lalu, memilih kabur. Ajeng menemui Ade untuk minta tolong mencari Vivi. Di sanalah Ajeng menuturkan semuanya sampai benar-benar tuntas. Mendapati fakta itu, Ade nyaris membeku. Air matanya luruh sejadi-jadinya.

"Ia menyesal karena selama ini telah menganggap Bapak adalah sosok paling jahat di dunia, dan lebih parahnya, selama ini ia anggap lelaki itu telah mati. Ade tergugu dalam kediaman. Dadanya benar-benar dipeluk pengap yang menyesakkan."_(hal 141)

Seperti apa sebenarnya masa lalu Bapak, Ibu, dan Ajeng? Benarkah Ade dan Vivi saudara? Lalu, apakah Ade akan menetap di Tembilahan atau kembali ke Kapuas Hulu? Yuk, segera order buku keren ini agar tidak penasaran. Dijamin suka. 😊

***

Review:

Saya tahu bagaimana perjalanan naskah ini sebelum terbit, terlebih setelah meraih posisi pertama di "Lomba Novel AT Press Surabaya", ekspektasi saya kian melambung. Benar saja, baru menginjak halaman 26, saya sudah dibuat berkaca-kaca. Terlalu dini memang, tapi demikian respons saya terhadap apa-apa yang bersinggungan dengan orangtua.

Salah satu standar novel bagus versi saya, sama sekali tidak ada niatan untuk melompati selembar pun. Itu yang terjadi saat saya membaca novel ini. Saya menyusuri tiap baris kata-katanya penuh kehati-hatian. Sebab narasinya aduhai Indah. Memang ada beberapa yang terkesan jadul, tapi secara keseluruhan justru terasa manis.

Sejak Ade memulai perjalanan pulangnya ke Tembilahan, saya merasa ada di sana. Duduk bersamanya di dalam mobil, mampir makan bareng, turut menikmati pemandangan di sepanjang jalan. Itu karena penulis berhasil mendeskripsikan suasana dalam cerita teramat detail, tapi sama sekali tidak membosankan. Saya suka unsur lokalitasnya. Terlebih penggambaran sudut-sudut Tembilahan yang seolah menyeret pembaca ke sana.

Awalnya saya pikir cerita ini hanya tentang kesalahpahaman yang kemudian berujung klise. Nyatanya salah besar. Saya mulai tergugah ketika Ade membesarkan hati untuk pulang menemui bapaknya. Saya lalu bersiap untuk disuguhi adegan-adegan mengharukan. Benar saja, hati saya teramat sering bergetar karena banyaknya selipan petuah-petuah yang bisa diambil. Di samping itu kita juga dimanjakan dengan taburan quote yang sarat makna kehidupan.

Saya ikut deg-degan di detik-detik pertemuan Ade dengan Bapaknya. Saya bahkan sampai menahan napas saat Ade memeluk Bapaknya untuk pertama kalinya setelah belasan tahun menganggapnya mati. Untungnya bagian ini diselingi romansa cinta. Meski porsinya kecil, tapi cukup menjadi ruang untuk sejenak menarik napas. Karena di bab-bab selanjutnya penulis menguraikan fakta-fakta yang mencengangkan. Belum lagi sentuhan laga di akhir-akhir cerita. Ketegangan terbangun apik. Dalam hal dinamika, saya kasih dua jempol untuk novel ini. Suhunya terus meningkat hingga akhir. Surat Ibu yang dimaksud di judul, bahkan dipaparkan di akhir cerita. Dan lagi-lagi pembaca disuguhi fakta baru. Keren banget.

Saya suka tokoh Andaru, suka pandangannya terhadap perbedaan. Saya juga suka Ken, yang ternyata ... ah, sudahlah. Intinya, penulis teramat rapi menyimpan rahasia hingga meledak dan membikin dada sesak. Apa yang terjadi di awal benar-benar berbanding terbalik dengan ending. Gak tahu mesti bilang apa lagi. Satu hal, buku ini layak masuk toko buku. Kereeeeennn. 👍

Memang ada beberapa penggunaan kata yang kurang efektif. Kekeliruan penulisan juga ada. Tapi minim banget dan sama sekali tidak mengganggu kita menikmati cerita ini. Ini hanya persoalan kacamata pembaca memang selalu lebih tajam dari penulis. Atau sama halnya penonton selalu sok tahu, kan?

Overall, novel ini recommended banget buat kamu yang nyari cerita bertema keluarga namun tidak membosankan. Tetap dibumbui romance, bahkan laga dan misteri. Novel ini akan mengajarkan kita pentingnya memaafkan dan berpikir panjang sebelum bertindak. Oh ya, siapin tisu sebelum baca novel ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar