Beberapa hari telah terangkai di
muara waktu, mulai menyulam sekotak kenangan baru sejak Mia kembali ke
rumahnya—di kawasan TPU Islam Nurani. Hari pertama, ia sibuk bersih-bersih.
Lantai serta perabotan rumahnya dilapisi debu tipis karena lama tidak tersentuh.
Entah kenapa, Mia merasa asing di tempat itu. Tanpa harus menyingkirkan
sampah-sampah yang berserakan di TPU, rasanya ada bagian dari hidupnya yang
hilang. Kini, pekerjaan Ayahnya yang juga merangkap jadi pekerjaannya itu
diambil alih oleh orang lain. Sementara Pak Warto, jadi kurir di perusahaan Pak
Andri. Untuk sementara, Pak Andri rasa hanya posisi itu yang paling cocok,
karena saat ditawari jadi sopir pribadi, ia sama sekali tidak bisa menyetir.
Ditinggal kerja sang ayah dari pagi
hingga sore, Mia terpaksa menjalani hari-hari yang sepi. Ia merindukan
saat-saat kebersamaan mereka dulu, sewaktu masih jadi kuncen. Tapi di balik
semua itu, gadis bertubuh ramping itu bersyukur, mengingat pekerjaan ayahnya jauh
lebih baik dari sebelumnya.
Kadang, Mia merindukan keberadaannya
di tengah-tengah keluarga Pak Andri beberapa minggu terakhir, terutama
saat-saat bersama Evan atau Elen. Pernah terpikir olehnya untuk mengunjungi
kediaman mereka sekali lagi, tapi keraguan pekat mengubur keinginannya. Mengingat
sikap dingin Evan di perbincangan terakhir mereka—di rumah sakit—beberapa hari
yang lalu. Hingga hari ini, Mia tidak pernah mendapatkan kabar tentang Evan.
Posisi ayahnya di kantor kurang potensial bisa bertemu dengan Pak Andri untuk
sekadar menanyakan keadaan Evan. Tapi Mia yakin, Evan baik-baik saja. Apakah ia
sudah mampu terlepas dari kemelut masa lalunya? Itu yang masih jadi pertanyaan.
Mia banyak menghabiskan waktu di
TPU, tempat yang menyimpan sejuta kenangan dirinya bersama Dirga. Setiap kali
daun berderik gugur, ia menoleh, disangkanya dawai biola Dirga yang bergetar.
Sepanjang waktu, Mia menapaki setapak yang permukaannya tertutupi rumput
kering, atau terdiam di balik pohon oak seperti dulu, sebelum dirinya dan
pengutus kedamaiannya itu saling bertegur sapa.
Kadang terlintas pikiran, bahwa
dirinya tidak waras lagi. Setiap detik dan di setiap hela napas, Mia merasa
ruang hatinya disesaki bayangan Dirga. Sekarang, ia jadi mengerti, bagaimana
cinta mengaburkan logika Evan.
Separuh waktu telah terlewati sejak
sepasang liontin merpati itu terpisahkan. Tiga bulan yang dijanjikan—atau lebih
lama—segera terangkai. Gadis berbibir mungil itu akan bertahan dalam penantian
demi sebuah kepastian.
⃰ ⃰
⃰
Mia keluar dari TPU, setelah bosan
bercengkrama dengan wajah sore yang enggan menghadirkan sosok Dirga. Gadis yang
hari ini mengenakan oblong berwarna merah hati itu terdiam di tepi jalan,
menatap lurus ke arah pertigaan. Ia berharap penawar rindunya tiba-tiba muncul
di ujung sana. Pandangannya tak teralihkan, sekalipun ia sadar, itu tidak
mungkin.
Berselang beberapa menit, di jalan
yang tadinya sepi, meluncur sebuah Jaguar abu-abu keperakan. Mia tak peduli
dengan kemunculan Jaguar itu, sebelum akhirnya berhenti tepat di sampingnya.
Mia menggeser sedikit posisi dan mengernyit memandangi mobil mewah itu.
Kemudian seseorang muncul dari pintu
depan yang membuka. Sesaat, Mia tak mengenali orang itu, lebih tepatnya, ia
tidak yakin dengan dugaannya. Orang dengan setelan berdesain modern itu, kini
berdiri tegap di sebelah mobil. Ia menatap Mia dengan mata berbinar-binar dan
senyum yang tertata indah.
Mia tercengang, membalas tatapan
orang itu dengan wajah datar yang dipenuhi riak-riak keheranan.
“Hai, Mia! Apa kabar?”
Mia tersentak, suara itu meleburkan keraguannya.
Sungguh, orang itu adalah Evan. Tidak salah lagi. Sekian detik Mia terperangah.
Bagaimana bisa Evan seperti ini? Ia berusaha mengatakan sesuatu, tapi ….
“Van ….” Hanya potongan nama itu
yang mampu terluar dengan nada desahan yang panjang.
Mia nyaris tak percaya, sosok yang
berdiri di hadapannya itu benar-benar Evan. Rambut yang dulunya tak begitu
terurus, kini tertata rapi membingkai wajahnya yang berseri. Ia berusaha
menemukan kembali kemampuan bicaranya, dan ….
“Van … ini benar-benar kamu?”
akhirnya kalimat itu terucap dengan susah payah, disusul sebuah senyum gugup
yang terlihat aneh di wajahnya.
“Kenapa, nggak percaya? Atau baru
sadar, kalau aku seganteng ini?” pungkas Evan dengan nada candaan.
Kali ini kegantengan Evan memang
patut diakui, ia sangat karismatik.
“Van, aku seperti mimpi,” ucap Mia
lebih lepas disertai gelak tawa seadanya.
“Mimpi bertemu pangeran?”
Mia mengangguk di balik tawanya yang
tertahan, sedikit menanggapi candaan Evan.
“Ini semua karena kamu,” ucap Evan
dengan nada berbeda.
Mia tersipu.
“Aku ingin mengajak kamu makan
malam.”
“Apa?” Mia terperanjat.
“Kenapa, kamu tidak bisa, ya?”
Sesaat, Mia bengong. Ia masih belum
yakin dengan ajakan yang baru saja didengarnya.
“Ini, kan, masih sore?”
“Tempatnya lumayan jauh, jadi kita
harus berangkat sekarang.”
“Jauh?” timpal Mia.
“Ada masalah?”
“Ayah belum pulang. Aku takut bikin
beliau cemas.”
“Ooo … kalau soal itu tidak perlu
khawatir. Tadi sebelum ke sini, aku menemui beliau di kantor dan minta izin
untuk mengajakmu makan malam.”
“Hhaa
…?” Mia antara terperangah dan tidak percaya. Mungkinkah ini candlelight dinner yang dipersiapkan
Evan matang-matang? Sampai segitunya? Tapi, apa maksudnya?
“Kamu tidak sedang berpikir untuk
menolak, kan?”
“Oh … enggak, kok!” Mia jadi salting. “Kalau begitu, aku ganti baju
dulu, ya!” Mia baru saja hendak beranjak, ketika Evan lebih dulu meraih
pergelangan tangannya.
“Tidak usah, begini saja sudah manis,
kok. Cantik.” Evan menutup kalimatnya dengan senyum bersungguh-sungguh.
“Tapi, kan …?” kalimat Mia tenggelam
dalam tatapannya memerhatikan penampilan Evan mulai dari ujung kaki hingga
pandangan mereka bertemu kembali.
“Kenapa? Pakaianku terlalu resmi?”
“Kamu yakin, aku tidak usah ganti
baju?”
Evan mengangguk, kemudian beralih membukakan
pintu mobil untuk gadis yang masih memetakan kebingungan di wajahnya.
Sejenak, Mia menunduk memandangi
dirinya, hanya mengenakan kaus longgar dengan bawahan jins pendek—nyaris
segaris dengan ujung kausnya—plus sandal jepit yang melekat di telapak kakinya.
Ia membayangkan reaksi orang-orang di luar sana melihat mereka jalan berdua. Bisa-bisa,
Evan disangka sedang jalan sama pembantunya.
“Yuk …!” kepala Evan menyentak lemah
ke arah mobil saat Mia menatapnya.
Mia beranjak masuk ke dalam mobil
dengan wajah bingung sembari terus menatap Evan. Hingga akhirnya pandangannya
mengabur di balik kaca pintu mobil yang tertutup.
Jaguar abu-abu keperakan itu meluncur
membawa Mia dengan serangkum tanda tanya yang teredam, serta berbagai perasaan
aneh. Bukan karena risi dengan penampilannya yang sangat tidak sepadan dengan
pemuda di sebelahnya, tapi ia masih antara percaya dan tidak. Bagaimana bisa
sedrastis itu? Evan yang selama ini terkubur dalam trauma, sekarang dengan
santainya mengemudikan mobil menuju suatu tempat yang sedari tadi coba ia
terka-terka. Caranya berbicara, bertingkah, benar-benar bukan Evan yang ia
kenal selama ini. Evan yang membanggakan itu sepertinya telah kembali.
Sesekali, Mia mengintai Evan—yang
tampak sangat tenang—dari sudut matanya. Mia tersenyum, ia bahagia melihat Evan
yang sekarang. Mereka terus meluncur di bawah terpaan sinar matahari yang mulai
memudar. Panjangnya perjalanan terasa kaku dengan hadirnya kebisuan. Sesekali,
Evan hanya menoleh dengan sebuah senyum, dan detik selanjutnya, ia akan kembali
fokus pada jalanan. Sebenarnya ada ribuan topik yang ingin Mia bicarakan, tapi
ia tidak tahu bagaimana harus memulainya. Akhirnya hanya deretan nama-nama
tempat—yang berkemungkinan mereka tuju—yang hilir mudik di benaknya.
Suara derik pasir teredam oleh deru
mesin yang melemah. Setelah 90 menit perjalanan, mereka tiba di sebuah pantai.
Padahal tidak pernah terlintas di benak Mia, Evan akan mengajaknya ke pantai.
“Pantai?” wajah Mia jelas
menyiratkan rasa sukanya dengan tempat itu.
“Kamu suka, kan?” Evan meleraikan
sabuk pengamannya.
“Wah, suka banget.” Mia yang seolah
tak sabaran, cepat-cepat turun dari mobil.
Mia berlari dengan tangan terentang
menghampiri ombak yang pecah. Ia membiarkan angin menyentuh seluruh lekuk
tubuhnya, kausnya yang longgar meliuk-liuk mengikuti arah angin. Mia berhenti
di atas pasir yang basah, ombak menyisakan buih di punggung kakinya. Ia menoleh
dan melambai riang ke arah Evan.
Evan yang duduk di atas kap depan
mobil—dengan kaki terjulur—hanya membalas lambaian gadis yang tampak begitu
riang itu, tanpa berniat menghampirinya. Ia membiarkan Mia berekspresi sendiri
di sana, dan menjadikannya sebagai tontonan yang menarik.
Mia puas setelah beberapa kali
serpihan ombak menggapai pergelangan kakinya. Ia kembali menghampiri Evan. Mia
duduk meringkuk, bersisian dengan pemuda berwajah tirus itu. Sisa-sisa pasir
yang melekat di alas kakinya menempel di kap mobil yang tadinya bersih
mengkilap.
“Sudah puas main sama ombak?”
Mia mengangguk sembari tersenyum.
“Kamu, kok, diam di sini saja?”
“Aku lebih tertarik melihat kamu
berlarian seperti tadi, daripada pantainya.”
Mia tersipu. Kenapa Evan menjawab
seperti itu?
Matahari menggantung rendah di
kejauhan, nyaris menyentuh punggung laut. Sinarnya yang kian memerah menyepuh
awan-awan di sekitarnya, bahkan membias hingga ke wajah mereka.
“Indah banget, ya?”
“Iya.” Wajah Mia yang berseri kian
merona karena pantulan sinar matahari di seberang laut.
“Kamu tahu, kenapa aku mengajakmu ke
sini?” Evan mengalihkan pandangan ke arah Mia.
“Karena tempat ini favorit Sandra,
kan?” jawab Mia tanpa menoleh.
Evan mengernyit.
“Kamu, kok, berpikir seperti itu?”
Evan menggeser sedikit posisi, menghadap ke arah Mia.
“Memang begitu, kan? Dulu juga
selalu seperti itu.” Mia membalas tatapan Evan.
“Sekarang tidak lagi, sekarang sudah
beda. Biarkan Sandra mengendap di dasar hatiku, selamanya. Aku tidak ingin ada
sesuatu yang memberatkan kepalaku saat hendak ditegakkan dan menatap lurus ke
depan, seperti yang pernah kamu katakan.”
Ini kesekian kalinya Mia tercengang
hari ini. Sulit dipercaya, kalimat yang baru saja didengarnya diucapkan oleh
Evan.
Evan menggeser posisi, kembali
menghadap laut. Sejenak, kebisuan terjalin di antara mereka. Evan menunduk,
memandangi ujung sepatunya sendiri yang dikais-kaiskan di atas pasir.
“Oh, ya, aku punya sesuatu buat kamu.” Evan beranjak mengambil sesuatu
di jok belakang mobil. Sesaat, ia kembali dengan sebuah bingkisan. Sesuatu
berbentuk persegi empat yang cukup besar dan datar, dibungkus kertas tipis
berwarna pink yang dipenuhi bercak-bercak hati berwarna merah.
Evan menyerahkan bingkisan itu
dengan sebelah alis terangkat.
“Apa ini, Van?” Mia menyambutnya
dengan tanya.
“Buka aja!” Evan menyunggingkan
seutas senyum.
Mia mengapit sebagian kecil kertas
pembungkus bingkisan itu pada sisi tengah atas dengan salah satu tangannya,
kemudian ditariknya ke bawah dan membentuk pola sobekan menyerong. Sebelah mata
mengintipnya dari celah sobekan itu. Mia merasa sangat mengenali mata itu.
Gegas, ia menyingkirkan semua kertas pembungkus yang masih tersisa. Mia sudah
bisa menebak, isi bingkisan itu pasti sebuah lukisan. Tapi yang masih menyita
rasa penasarannya, wajah siapa yang tertera dalam lukisan itu? Matanya pun
berbinar-binar ketika wajahnya terpatri di permukaan kanvas itu—tersenyum dalam
padanan warna yang indah.
“Wow
… Van, ini bagus sekali. Kapan kamu membuatnya?” tanya Mia kegirangan.
Tatapannya masih lekat pada lukisan itu, ia seolah bercermin pada permukaan
kanvas berukuran 40 x 60 cm itu.
“Selama di rumah sakit.” Evan jeda
sejenak, melirik ke arah Mia yang asyik memerhatikan lukisan pemberiannya dari
setiap sudut. “Entah sejak kapan bayangan Sandra memudar dalam imajinasiku,
yang ada malah senyum dan keceriaanmu. Semula, aku tak mengerti, kenapa? Tapi
sekarang aku benar-benar mengerti.” Evan melirik sekali lagi, tepat ketika Mia
pun menoleh ke arahnya.
Bagaimana bisa? Tiba-tiba sebentuk
ketakutan menghampiri gadis bermata cokelat bening itu. Mendadak keceriaannya
memudar. Ia takut membayangkan kebenaran yang ia pikirkan. Ia berusaha menenggelamkan
pikiran itu. Ia mengembalikan pandangan ke dalam lukisan, mencerna senyumnya
sendiri.
Perlahan-lahan, matahari senja mulai
menyelam ke dasar lautan. Bentuknya yang sempurna terkikis, hingga kini tersisa
hanya setengahnya saja. Menimbulkan efek pendar keemasan pada permukaan air
laut di balik siluetnya. Sangat menawan.
Hingga malam menghadirkan bulan
separuh yang pucat, banyak kebisuan yang tercipta di antara mereka. Sesekali,
keduanya mencoba menghadirkan bahan obrolan yang akhirnya hanya akan terasa
hambar dan kaku. Dalam keremangan, terjadi pergolakan tanya yang memekik dalam
diri Mia. Hingga akhirnya, ia menemukan kunci untuk mengakhirinya.
“Eh … katanya, kita mau makan malam.
Kok, malah ke pantai?” Mia meletakkan lukisan itu di belakangnya, bersandar
pada kaca depan mobil.
Evan menanggapi ucapan Mia dengan
basa-basi. Di antara cahaya temaram, ia malah tersenyum kemudian menunjuk ke
arah selatan. Gadis yang tengah penasaran itu pun menoleh. Tapi tidak ada
apa-apa di sana, selain kegelapan yang dilatarbelakangi deru ombak.
Evan tahu, saat ini, gadis yang
diinginkannya itu sedang bingung, berusaha menemukan sesuatu yang ia maksudkan.
Evan mengakhiri kebingungan Mia (atau malah menambah) dengan tiga kali tepukan.
Kemudian, di jarak sekitar 30 meter dari posisi mereka, lampu-lampu kecil yang
bertalian menyala dan berpendar bersama. Seperti bintang-bintang gemerlapan di
bawah terpaan cahaya bulan. Tapi jelas tidak ada rasi bintang seperti itu,
menyerupai tirai terbuka dengan belahan meruncing. Ada empat tirai yang terbentuk
dari pertalian cahaya. Keempatnya masing-masing pada sisi yang berbeda,
membentuk semacam ruangan bermandikan cahaya. Meski tak begitu jelas, Mia bisa
melihat, di sana ada sebuah meja dan dua buah kursi. Tak hanya itu, beberapa
bola lampion yang berpendar kemerahan tergeletak di sekitar tempat itu. Seperti
matahari senja kecil yang terbenam di permukaan pasir. Mia takjub. Di sanakah
tempat makan malam yang dimaksudkan Evan? Luar biasa!
Belum sempat Mia menanyakan bagaimana
Evan menyiapkan semua itu, seorang laki-laki yang berpakaian senada dengan Evan
menghampirinya. Kemudian laki-laki itu dalam posisi setengah membungkuk,
menyodorkan seikat mawar merah dalam rangkulan pita warna-warni kepadanya. Mia
antara bingung dan tak berdaya menerima buket bunga itu.
Belum lagi Mia sempat mengatakan
apa-apa, Evan sudah meraih jemari tangannya.
“Yuk!” ajak pemuda berambut cokelat
legam itu dengan senyum yang terpatri dalam keremangan cahaya bulan.
Mia terperanjat, setengah melompat,
ia turun dari kap depan mobil.
Mereka berjalan beriringan menuju
tirai cahaya itu sambil bergandengan tangan. Tiba-tiba ketakutan kembali
menyeruak dalam diri Mia. Ini bukan candlelight
dinner, mereka hanya berteman. Tapi apa kalimat yang tepat untuk suasana seromantis
ini? Mia mencoba tetap tenang. Ia berusaha meyakinkan diri, ini hanya cara Evan
menghargai kedekatan mereka, atau bentuk lain dari permohonan maaf atas sikap-sikap
kurang mengenakkan selama ini.
Pikiran tak menentu mengiringi
langkah Mia hingga tiba di balik tirai-tirai cahaya itu. Bahkan saking kerasnya
ia berpikir, sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa dirinya sudah duduk di
salah satu kursi dan berhadapan dengan Evan. Mereka diantarai meja bundar yang
dilapisi kain taplak merah bermotif garis-garis putih. Meja itu masih kosong,
sebelum beberapa orang pelayan yang masih berpakaian senada dengan Evan,
memasuki tirai cahaya itu. Mereka membawa serangkaian menu makan malam yang langsung
disajikan dan ditata dengan rapi.
Mia meletakkan buket bunga tadi di
pangkuannya. Ia merasa jadi ratu sehari diperlakukan Evan seperti itu. Ia
berusaha menikmati momen, tapi tidak bisa, jiwanya tidak tenang. Dan semakin
keras saja ia berpikir, apa sebenarnya maksud semua ini?
“Kok, tampangnya seperti orang
kebingungan begitu? Lagi mikirin apa?” Evan menangkap ketidaktenangan Mia.
“Enggak, kok, nggak lagi mikirin
apa-apa.”
“Atau jangan-jangan, kamu lagi
kurang enak badan?”
Mia hanya menggeleng.
“Tapi, kamu suka, kan, dengan
tempatnya?”
“Ya.” Hanya seperti itu Mia
merespon.
“Ya sudah. Yuk, makan!” Evan
terlihat mulai memasukkan beberapa makanan ke dalam piringnya.
Mia masih terdiam menatap piring
kosong yang ada di depannya.
“Van … sebenarnya apa maksud semua
ini?”
Evan menghentikan aktivitasnya, ia merasa
aneh dengan pertanyaan itu.
“Tadi, kamu bilang suka, kan?”
“Iya. Suka banget malah. Tapi tetap
saja, aku merasa aneh berada di sini. Kita, kan, bisa makan di tempat biasa
saja, kamu tidak perlu repot-repot seperti ini.”
“Aku tidak merasa repot sama
sekali.” Evan menggeleng.
“Tapi … entahlah!” Mia kehabisan
kata.
“Sebenarnya apa, sih, masalahnya?”
Mia terdiam, karena ia pun tidak
tahu. Sikapnya itu hanya dipicu oleh ketakutan yang terus membuntutinya.
Evan meletakkan sendok dengan
sejumput makanan yang belum sempat tiba di mulutnya. Sesaat hening.
“Sebenarnya, aku mau menyampaikan
hal ini setelah kita selesai makan. Tapi … baiklah!” Evan menghela napas
panjang. “Aku melakukan semua ini sebagai permohonan maaf atas sikapmu yang
seringkali kasar terhadapmu selama ini. Bahkan, aku sama sekali tidak pernah
menghargaimu.” Evan jeda sejenak, ia menatap mata Mia yang masih kental
menyorotkan kebingungan. “Dan juga untuk menebus sebuah kebodohan,” lanjut Evan
dengan nada tertahan.
“Kebodohan?” Mia mengernyit.
“Sebenarnya … sejak pertama kali
kamu menghampiriku di pojok halaman itu, aku merasakan ada kedamaian dalam dirimu,
rasa nyaman, dan terlindungi. Tapi, aku berusaha keras untuk mengingkarinya. Aku
membohongi perasaanku sendiri, karena tidak ingin ada orang lain yang bisa
menentramkanku selain Sandra. Tapi rangkaian hari yang kita lalui bersama,
perlahan-lahan mengikis kemampuanku untuk ingkar. Aku mulai merasa hadirmu berarti
di hidupku, dan aku tidak ingin kehilangan kamu. Aku ingin, sepanjang apa pun
hariku selanjutnya yang telah digariskan oleh Tuhan, ada kamu di sana.” Suara
Evan yang merujuk sendu mendadak mengirimkan hawa dingin di sekujur tubuh Mia.
“Van, aku tidak akan meninggalkan
kamu, kita masih bisa terus sama-sama, kok.”
“Tapi, aku menginginkan kebersamaan
yang lebih dari sekadar kebersamaan kita selama ini. Aku ….” Evan tercekat, ia
menelan ludah. Kemudian menarik napas panjang, seperti sedang mengumpulkan
seluruh energi yang ada dalam tubuhnya. “Aku sayang sama kamu, aku ingin kamu
menjadi pendamping hidupku yang seutuhnya. Selamanya!” Evan menyuguhkan
kesungguhan di nada terakhir kalimatnya.
Mia beku, wajahnya kaku. Ketakutan
yang sejak tadi membuntutinya, kini menimpanya seperti reruntuhan bagunan yang
dilanda gempa.
Evan mengeluarkan kotak kecil
berwarna merah hati dari balik saku jasnya. Kemudian menyodorkannya kepada Mia
setelah membuka tutupnya. Mia melirik isi kotak itu, sebuah cincin berbahan
emas putih. Mia masih ingat jelas, itu cincin yang pernah dilihatnya di kamar
Evan, malam itu.
“Aku tidak takut lagi mengejar
kebahagiaanku, karena kebahagiaan itu sekarang ada di hadapanku. Jika memang
harus ada Sandra yang lain, maka aku telah menemukannya. Aku merasa lahir
kembali, dan aku ingin menjalani hari-hari baru bersamamu.” Evan menghela napas
panjang, untuk kesekian kalinya. “Hari ini, penantianku akan berakhir jika kamu
bersedia memakai cincin ini.” Evan menatap Mia penuh harap.
“Tapi kenapa, Van? Kenapa harus
seperti ini?” tuntut Mia setelah ia mampu terlepas dari kebekuannya.
“Karena kamu telah mengembalikanku
ke kehidupan yang sesungguhnya. Kamu mengobarkan kembali pijar-pijar semangat
yang lama redup dalam diriku. Dan karena kamu, aku bisa seperti ini.”
“Bukan karena aku, Van. Tapi karena
niat yang ada dalam diri kamu.”
“Dan niat itu datang bersamamu.”
Evan menodong ucapan Mia.
Sesaat, Mia bungkam, napasnya terasa
sesak. Ini benar-benar sulit baginya.
“Ini tidak mungkin, Van!” lirih Mia.
“Kenapa?”
“Karena kita sahabat. Jadi ….”
“Itu bagi kamu!” suara tinggi Evan
menenggelamkan kalimat Mia. “Apakah perasaanku salah setelah semua yang kamu
lakukan untuk hidupku? Laki-laki manapun, pasti akan tersentuh jika kamu
perlakukan seperti itu.”
“Tapi, aku tidak bermaksud ….”
“Tidak bermaksud untuk membuatku
suka sama kamu? Itu yang ingin kamu katakan?” sekali lagi, suara Evan
menenggelamkan kalimat Mia.
Mia sungguh merasa tersudut.
“Kamu tidak pernah berpikir, betapa
berartinya semua yang kamu lakukan selama ini. Di saat aku merasa hidup tak
penting lagi, kamu datang mengangkatku dari keterpurukan. Apakah itu belum
cukup untuk membuatku suka sama kamu?” mata Evan memancarkan kesungguhan,
dadanya bergetar penuh kekhawatiran serta sedikit keputusasaan.
Mia termenung. Ia menopangkan dahi
pada telapak tangannya. Jemari tangannya terbenam di sela-sela helai rambut
yang kini gusar, segusar pikirannya. Ia berusaha menjaga perasaan Evan, ia
tidak ingin mengacaukan suasana malam ini. Tapi tidak mungkin dengan menerima
cinta yang datang begitu mendadak.
Suara ombak yang pecah berkumandang
di sepanjang pantai, seolah-olah memanggil ombak-ombak lain untuk segera
berlabuh. Tapi nyanyian ombak kali ini tak mampu memberikan sedikit hiburan
untuk Mia. Bahkan cahaya bulan pun sepertinya tak cukup menerangi kebimbangan
hatinya, ia merasa sangat tidak nyaman.
“Aku tidak bisa, Van,” ucapnya
kemudian. Lirih. Berat.
Evan menelan ludah kekecewaan. Untuk
pertama kalinya sejak ia tiba di dalam tirai-tirai cahaya itu, ia mengalihkan
pandangan dari wajah Mia. Pemilik hidung mancung itu menunduk. Dirasakan
semangat hidup yang baru saja tumbuh mendadak layu kembali. Keceriaan yang
menemaninya sepanjang sore tadi, kini tak tampak lagi di wahjahnya. Evan
mengatupkan kembali kotak kecil itu dan menggenggamnya kuat-kuat. Giginya
mengertak.
“Alasannya?” Evan menghela napas
berat, ia mencoba tetap tenang.
“Karena ….” Mendadak, Mia menelan
kembali ucapannya, ia tidak mungkin mengutarakan alasan itu di depan Evan—bahwa
ia mencintai orang lain. Kalaupun Evan harus tahu, tidak dengan sepolos itu.
Evan mengernyit memandang Mia yang
kini tergagap tanpa suara.
“Kamu tidak bisa jawab, kan?”
Mia bangkit dari tempat duduknya. Buket
bunga di pangkuannya jatuh dan berguling di atas pasir.
“Aku mau pulang, Van.”
Evan beranjak meraih tangan Mia.
“Tolong, jangan pulang dengan
seperti ini. Kita sudah jauh-jauh ke sini. Setidaknya, selesaikan dulu acara
makan malam ini.”
“Enggak usah, Van. Aku mau pulang!”
“Kamu kenapa, sih?”
Mia terdiam, ia membalas tatapan
Evan dari sudut matanya.
“Oke, kamu tidak perlu memberikan
alasan apa-apa. Bahkan jika kamu tidak nyaman karena ucapanku tadi, lupakan
saja. Anggap saja kamu tidak pernah mendengarnya. Tapi tolong, jangan pulang
sekarang.”
Mia memalingkan wajah, ia menghindar
penuh dari tatapan Evan.
“Mia, aku mohon!”
Sesaat, tak ada tanggapan dari Mia,
tapi kalimat permohonan yang terakhir mampu meluluhkan hatinya. Kemudian dengan
enggan, Mia duduk kembali di kursinya. Mia berusaha membuat senyaman mungkin
suasana malam yang terlanjur kacau.
Makan malam yang dibayangkan Mia—sepanjang
perjalanan tadi—akan sangat menyenangkan dengan bumbu-bumbu obrolan segar, kini
berlangsung penuh kekakuan. Bahkan, ia sama sekali tidak bisa menikmati makanan
yang disantapnya, hambar.
Perjalanan pulang pun tidak kalah
kakunya. Mia membuang pandangan ke luar melewati kaca jendela mobil, ia tidak
sanggup menoleh ke arah Evan. Lampu-lampu yang menghiasi bangunan di sepanjang
jalan memendar di pandangan Mia, mereka seolah bergerak cepat ke arah
berlawanan, secepat Evan mengemudikan mobil.
Sepanjang perjalanan tidak ada
percakapan, bahkan sepatah kata pun. Hanya deru mesin yang bergetar lembut,
serta hiruk-pikuk jalanan yang menerawang kesunyian di antara mereka. Hingga
akhirnya Jaguar itu berhenti tepat di depan pagar rumah Mia yang hanya setinggi
pinggang, terbuat dari batangan-batangan besi gepeng yang dicat putih. Mia
membungkuk untuk menjejalkan lukisan pemberian Evan dari jok belakang mobil
saat si pemberi tiba-tiba bersuara, membuatnya agak tersentak.
“Terima kasih untuk malam ini.”
Dari nada suara itu, Mia yakin, Evan
tidak sungguh-sungguh berterima kasih, ia pasti sangat kecewa.
Mia bermaksud mengucapkan selamat
malam, tapi Jaguar itu langsung melesat setelah ia mengeluarkan lukisannya.
Setelah apa yang terjadi malam ini, Mia pun tidak mengerti, kenapa ia masih
harus memiliki lukisan itu. Tapi dengan tidak langsung tancap gas, sepertinya,
Evan pun menginginkan Mia mengambil lukisan itu.
Mia terdiam mengawasi mobil Evan
yang semakin jauh. Kini hanya berupa dua titik cahaya di balik keremangan
malam. Semakin jauh, dan akhirnya hilang. Mia merasa jatuh begitu dalam di
antara rasa bersalah dan tidak ada pilihan.
Mia melangkah masuk melewati pagar
dan halaman, memasuki rumah sederhana itu dengan langkah pelan. Ia menemukan
sang ayah sedang duduk bersantai di ruang tengah.
“Bagaimana makan malamnya?” pandangan
Pak Warto tersita oleh lukisan yang ditenteng Mia di sebelah kanan.
Mia yang bermaksud langsung masuk ke
kamarnya, berhenti sejenak.
“Buruk, Yah!”
“Lah, kenapa?” Pak Warto mengernyit
mendengar jawaban tak terduga itu.
Mia hanya mengendikkan bahu kemudian
menghilang di balik pintu kamarnya, menyisakan tanda tanya besar di benak Pak
Warto.
Mia merebahkan diri di tempat tidur,
pikirannya masih terdiam di pantai. Sangat ironis, kejutan tadi sore yang mampu
membuatnya sejenak melupakan Dirga, harus berakhir seperti ini. Malam ini pasti
sangat menyenangkan jika tanpa adegan Evan memintanya memakai cincin itu,
alih-alih menerima cintanya.
⃰ ⃰
⃰
Matahari masih bermalas-malasan di
balik selimut bintang yang kini berpendar lemah, sinarnya tersembunyi di balik
dengkur yang dingin dan beruap. Sama halnya dengan Mia, ia masih meringkuk di
balik selimut bulunya. Dengan posisi miring, Mia menghadap ke sisi kanan
kamarnya, menatap lukisan pemberian Evan yang digantungnya di sana sebelum ia
terlelap tadi malam. Senyumnya di lukisan itu berkilauan di bawah penerangan
lampu kamar yang cahayanya menyerupai senja. Mia memang bahagia melihat sosok
Evan yang sesungguhnya telah kembali dengan wajah yang belum pernah ia lihat
secerah kemarin sore. Ia lega, akhirnya Evan bisa lolos dari kemelut masa
lalunya, tapi tidak dengan Evan harus berbalik mencintainya. Bagaimanapun juga,
saat ini yang ada di hati Mia hanyalah Dirga, mustahil untuk mengalihkan
perasaannya secepat itu. Mia membatin, entah bagaimana ia harus melewati
hari-hari selanjutnya dengan kondisi seperti ini, sebelum akhirnya ia sadar dan
bangkit dari pembaringan. Ia harus melaksanakan tugas paginya: menyiapkan
sarapan untuk sang ayah.
Mia merasa hari ini jauh lebih buruk
dari sebelumnya sejak ia kembali ke tempat itu. Sama halnya dengan bayangan
Dirga dan Evan yang hilir mudik di pikirannya, sepanjang hari, Mia hanya hilir
mudik dari TPU ke telaga, atau dari telaga ke kamarnya. Kadang, ia hanya
terdiam menatap potret dirinya yang terlahir dari kreatifitas jemari tangan
Evan. Lukisan itu merupakan bukti nyata, betapa Mia telah hidup dalam imajinasi
Evan. Di saat yang bersamaan, wajah Evan akan terpatri menemani lukisan itu
dengan segenap kekecewaan dan sedikit sorot kebencian. Terkadang terjadi benturan
antara bayangan Evan dengan bayangan Dirga di pikiran Mia, saat ia tiba pada
puncak kebingungan yang membuatnya ingin teriak. Betapa tersiksanya ia dalam
situasi seperti itu.
Mia tak ingin melihat sorot
kebencian di mata Evan, tapi ia tak mungkin meredakannya dengan memberikan
cinta yang sepenuhnya sudah tercurahkan untuk Dirga. Semuanya akan baik-baik
saja seandainya Sandra benar-benar kembali, atau tiba-tiba dawai-dawai biola
Dirga kembali menggetarkan sore hari di TPU. Keduanya sangat tidak mungkin, itu
hanya gambaran dari kekalutan yang mendera Mia.
⃰ ⃰
⃰
Mia sedang membereskan meja makan
selepas makan malam bersama sang ayah, ketika seseorang mengetuk pintu rumah
mereka. Pak Warto beranjak ke depan untuk membukakan pintu. Dengan jelas, Mia
bisa mendengar percakapan ayahnya dengan tamu mereka malam ini. Terdengar suara
berat nan beribawa seorang laki-laki, serta suara perempuan yang nyaring dan
lembut, keduanya tak asing di pendengaran Mia. Cepat-cepat, Mia menyelesaikan
pekerjaannya dan beranjak ke ruang tamu. Mia muncul dari balik gorden lusuh
bermotif batik yang melapisi pintu ruang tengah.
“Eh … Om, Tante!” Mia duduk
bersisian dengan sang ayah.
Pak Andri dan Bu Anggi melepas
senyum.
“Kalau begitu, saya ke belakang dulu,
Pak, Bu!” pamit Pak Warto dengan kepala merunduk.
Pak Warto bangkit dari sisi Mia yang
sedang menerka-nerka maksud kedatangan orangtua Evan malam-malam begini.
“Om, Tante, saya ambil minum dulu,
ya!” Mia hendak beranjak.
“Eh, nggak usah. Kamu tidak perlu
repot-repot,” cegah Bu Anggi.
Mia kembali merapikan posisi
duduknya.
“Maaf, ada apa, ya, Om, Tante? Kok,
tumben Anda datang malam-malam begini?” tanya Mia sesopan mungkin.
“Sebelumnya maaf, sepertinya kami
mengganggu. Tapi kami benar-benar perlu bicara sama kamu.”
“Kami mau bicara soal Evan,” timpal
Bu Anggi.
Tiba-tiba sejuta kemungkinan
berkelebat di benak Mia, entah ada apa lagi dengan Evan.
“Ada apa dengan Evan, Tante?” Mia
berusaha meredam kekhawatirannya.
Bu Anggi tidak menjawab. Ia malah
menoleh ke arah suaminya, kemudian menunduk. Alih-alih memberi isyarat, agar
Pak Andri yang bicara.
“Kamu lihat sendiri, kan, bagaimana keceriaan
Evan saat menjemputmu kemarin sore?”
Mia mengangguk pelan dengan
keyakinan yang tiba-tiba memberatkan kepalanya. Ini pasti ada kaitannya dengan
kejadian di pantai.
“Bagaimana tanggapan kamu melihat ia
seperti itu?”
“Saya nyaris tidak percaya, Om,
kalau dia itu Evan.”
“Begitupun dengan kami,” sela Bu
Anggi.
“Sejak keluar dari rumah sakit, Evan
membawa sebuah keajaiban. Keajaiban yang selama ini nyaris kami lupakan.
Tiba-tiba ia ceria, dan tidak lagi selalu menyendiri atau terus-terusan
mengurung diri di dalam kamar. Meski Om masih bertanya-tanya, tapi Om yakin,
bahwa Evan kami telah kembali. Ia telah menemukan dirinya yang utuh.”
“Beberapa hari yang lalu, untuk
pertama kalinya sejak dua tahun terakhir, keluarga kami utuh kembali di meja
makan. Evan bercerita tentang apa yang sebenarnya terjadi padanya selama ini,
kemudian bagaimana akhirnya ia bisa terbebas dari belenggu itu, dan karena
siapa.”
“Bahkan, Evan meminta Om untuk
mengurus segala sesuatunya agar ia bisa segera bergabung di perusahaan kami.”
“Tante sangat bahagia dan terharu.
Tante peluk ia erat-erat, Tante ciumi ia berkali-kali. Tuhan telah
mengembalikan keutuhan keluarga kami, tak henti-hentinya Tante berucap syukur
atas kemuliaan-Nya!” Bu Anggi tersenyum lemah dengan mata berkaca-kaca,
berusaha menggambarkan perasaannya.
Mia menatap Pak Andri dan Bu Anggi
bergantian selama mereka bercerita. Tanda tanya besar menggelayuti pikirannya.
Ia belum bisa menyimpulkan apa-apa.
“Dan kemarin sore, Evan menemui kami
di kantor dengan wajah berseri-seri, hanya untuk mengatakan bahwa ia akan
menjemput kebahagiaannya. Dan Tante yakin, itu adalah kamu.”
Mia mulai mengerti arah pembicaraan
itu.
“Penampilannya pun tak kalah membuat
kami tercengang. Tante kembali merasakan sebuah kedamaian yang selama ini
hilang. Tapi….” Tiba-tiba suara Bu Anggi tertahan. “Sekarang, kebahagiaan itu
kembali hilang,” lanjutnya dengan suara bergetar.
“Hilang?” Mia tercekat.
“Evan pulang dengan wajah murung bercampur
kemarahan yang sudah cukup melukai kami selama ini. Ia langsung masuk ke kamar
dan membanting pintu sekuatnya.” Pak Andri jeda sejenak. “Om tidak tahu pasti apa
yang terjadi di antara kalian. Tapi sepertinya, Evan kecewa sama kamu.” Tatapan
Pak Andri menginginkan lawan bicaranya
segera bicara, dan Mia menyadarinya.
“Maafkan saya, Om, Tante. Saya
bingung harus berbuat apa.”
“Kamu tidak perlu minta maaf, karena
kami ke sini bukan untuk menyalahkan kamu. Tapi … tak bisakah kamu belajar
untuk mencintai Evan? Kasihan dia.” Bu Anggi memelas.
“Sekali lagi maaf, Tante, sepertinya
saya tidak bisa. Ini soal perasaan, dan saya terlanjur mencintai orang lain.”
Mia memantapkan kalimatnya. Tanpa sadar, Mia memainkan jemari tangan di
pangkuannya, seolah kehabisan tingkah dalam upayanya untuk tetap terlihat
sopan.
“Om mengerti, perasaan tidak bisa
diingkari, terlebih untuk dipaksakan. Tapi, bisakah kamu mengerti perasaan kami
selaku orangtua? Kami baru saja melihat anak kami menemukan kembali semangat
hidupnya, haruskah kami melihatnya terpuruk lagi?”
Ucapan Pak Andri bertalu-talu di
benak Mia. Seketika, ia serasa menyelami hati pasangan suami istri itu, ikut
merasakan apa yang mereka rasakan.
“Setelah semua yang kamu lakukan
untuk mengembalikan semangat hidup Evan, sekarang, semudah ini kamu
membiarkannya kembali hilang begitu saja?” Bu Anggi terisak, ia tak mampu lagi
mengontrol, apakah kalimat itu pantas diucapkan atau tidak.
Pak Andri merangkul istrinya.
“Tentu saja tidak, Tante. Tapi saya
tidak bisa berbuat apa-apa.” Suara Mia tertahan.
“Hanya kamu yang bisa membantu
kami,” pungkas Bu Anggi.
Mia terdiam dalam usahanya berpikir
keras, ia benar-benar berada di posisi yang sulit. Ini antara cintanya kepada
Dirga, dan cinta kedua orangtua kepada anaknya. Tapi, haruskah ia mengorbankan
perasaannya?
Bu Anggi tiba di titik perjuangan
terakhir, ia bersimpuh di hadapan Mia. Perempuan berwajah bulat itu menggenggam
kedua tangan Mia, kemudian membenamkan tangisnya.
“Mia, Tante mohon sama kamu, tolong
kembalikan senyum Evan untuk kami.” Bu Anggi berucap dalam sedu-sedan.
Isak tangis Bu Anggi memekik di
telinga Mia, ia nyaris tak sanggup mendengarnya. Hal ini membuatnya semakin
serba salah.
Selama sekian detik, Pak Andri harus
menyaksikan adegan memilukan. Ia tidak kepikiran istrinya akan bertindak sejauh
itu.
“Tante, tolong jangan lakukan ini.”
Mia meleraikan tangannya dari genggaman Bu Anggi, kemudian ia mengangkat Bu
Anggi pada kedua bahunya dan menuntunnya duduk bersisian. Mia bisa melihat
dengan jelas kedua mata itu merah padam dibanjiri air mata, menyiratkan
pengharapan seorang ibu.
Sejenak hening. Mia semakin gesit
memainkan jemari tangannya dengan gerakan-gerakan tak terkontrol.
“Om sadar sepenuhnya, tindakan kami
malam ini memang sedikit keluar koridor. Tapi, seperti inilah ketika orangtua
mengkhawatirkan anaknya, jalan apa pun akan ditempuh.” Pak Andri menghela napas
berat. Kemudian ia beralih menatap istrinya. “Ma, sebaiknya kita pulang saja. Kita
sudah mendengar jawaban Mia, dan tidak sepantasnya kita memaksakan kehendak.
Mia berhak menentukan apa pun keputusannya.”
Sekali lagi Bu Anggi menanamkan
tatapan penuh arti di kedua bening mata Mia.
“Mia, Tante mohon!” ucapnya sendu,
kian memberatkan napas Mia.
Begitu berat dan dipenuhi rasa
bersalah, namun akhirnya, Mia menunduk.
Penolakan halus itu mengakhiri
permohonan Bu Anggi, ia beranjak ke ambang pintu mendahului sang suami. Bu
Anggi tak menoleh lagi ketika Pak Andri pamit.
“Kalau begitu, kami permisi dulu!
Maaf sudah mengganggu, dan terima kasih atas waktunya.”
Mia tak begitu menghiraukan Pak
Andri, tatapannya tertuju pada Bu Anggi yang seolah-olah enggan melihatnya
lagi. Kekhawatiran kalau Bu Anggi merasa tersinggung dengan sikapnya malam ini,
tiba-tiba mencekam.
Mia hanya bisa menatap lirih
sepasang suami istri itu meninggalkan ruang tamu rumahnya. Padahal, ia sangat
ingin menjelaskan ketidakberdayaannya untuk memenuhi kehendak mereka. Mia
beranjak ke depan pintu. Pandangannya membuntuti Pak Andri dan Bu Anggi hingga
mereka masuk ke dalam mobil. Ingin rasanya Mia memanggil salah satu di antara
mereka dan mengucapkan sesuatu, tapi rasanya sangat sulit.
Mia menutup pintu dengan penuh
kekalutan. Ia melangkahkan kaki yang terasa berat hingga ia menemukan sang ayah
sedang beristirahat di kursi panjang, setelah ia menyibak gorden yang melapisi
pintu ruang tengah.
“Kamu yakin tidak ingin cerita
apa-apa sama Ayah?”
Mia yang hendak beranjak ke kamar,
tiba-tiba menghentikan langkah mendengar perkataan sang ayah. Detik
selanjutnya, gadis yang berusaha terlihat baik-baik saja itu menghambur dan merebahkan
kepala di pangkuan sang ayah. Tangisnya pecah.
“Menangislah jika setelahnya kamu
akan merasa lebih baik, alirkan semua perasaanmu bersama air mata itu.” Pak
Warto membelai rambut putri tunggalnya. “Kamu tidak perlu menjelaskan apa-apa,
Ayah tahu persis maksud kedatangan mereka.”
Cukup lama Mia terdiam, hanya
terdengar sisa-sisa isakan yang berusaha ia redam.
“Ayah tidak bermaksud kian
memeberatkanmu, tapi, apakah tidak sebaiknya kamu mempertimbangkan permohonan
mereka?”
“Maksud Ayah?” suara Mia bergetar.
Pak Warto menarik napas panjang.
“Ayah ini, kan, sudah tua,
sakit-sakitan. Ayah takut tidak punya banyak waktu lagi untuk menjagamu.”
Seketika, Mia bangkit dari pangkuan
sang ayah. Ditatapnya wajah yang ia jadikan panutan selama ini lekat-lekat. Sejenak
mengabur karena sisa-sisa air mata yang masih bertengger di tepian kelopak
matanya. Keningnya mengerut.
“Ayah jangan bicara seperti itu, Mia
tidak suka!”
Pak Warto tersenyum lemah, ia kembali
mengelus kepala putrinya.
“Alangkah leganya, jika sebelum waktu
itu tiba, Ayah bisa melepasmu ke seseorang yang benar-benar bisa menggantikan
posisi Ayah untuk menjagamu.”
Tak terdengar tanggapan dari Mia, ia
menunduk.
“Ayah ingin menjalani sisa hidup ini
dengan tenang, dengan melihat kamu menemukan pendamping hidup. Lagipula, gadis
seusia kamu sudah sepantasnya menikah.”
Setelah Pak Andri dan Bu Anggi, kini
giliran Pak Warto yang sepertinya akan mengajukan permohonan yang sama.
“Kamu mau, kan, melihat Ayah
bahagia?”
Mia tersentak, ini pertama kalinya
sang ayah bertanya seperti itu. Dan sesungguhnya, jawaban atas pertanyaan
itulah yang jadi impian terbesarnya selama ini.
“Evan itu anak yang baik, laki-laki
bertanggung jawab. Ayah yakin, ia bisa membahagiakanmu.”
“Apa yang mendasari keyakinan Ayah?”
“Ayah tidak perlu munafik di hadapan
kamu, Ayah lihat dari latar belakang keluarganya. Tentunya, kamu tidak ingin,
kan, selamanya hidup seperti ini?”
“Mia cukup bahagia bersama Ayah di
sini, di rumah kita.”
“Ayah paham. Tapi seperti yang Ayah
bilang tadi, tidak selamanya Ayah mampu menjagamu.”
“Tapi bagaimana bisa, Yah, Mia tidak
pernah mencintai Evan.”
“Cinta itu bisa tumbuh setelah
pernikahan, seperti Ayah dan Alm. Ibu kamu dulu. Dan ternyata kami bisa, kan,
menjalaninya dengan baik?”
Sedikit riak haru di hati Mia,
mengenang wajah sang ibu yang lama memudar di pelupuk matanya.
“Tidakkah Ayah mengerti betapa
sulitnya semua ini bagi Mia?” Mia memelankan suaranya.
“Apa yang menyulitkanmu?”
Mia terdiam.
“Laki-laki yang sering memainkan
biola di TPU itu?” dugaan Pak Warto tepat sasaran.
Mia mencelus, mendadak menemukan
bayangan Dirga dalam kegamangan hatinya.
“Di mana ia sekarang? Apakah kamu
yakin, ia memiliki jawaban atas penantianmu? Kepastian yang benar-benar kamu
harapkan?”
Seketika, kebimbangan kembali
memadati hati Mia.
“Terkadang, kesulitan itu timbul
dari pemikiran kita sendiri. Berpikirlah bahwa semua ini tak sesulit yang kamu
bayangkan, maka pintu-pintu kemudahan akan terbuka lebar di hadapanmu.”
Mia merasakan makna yang sangat
dalam di kalimat itu.
“Lebih baik, sekarang kamu tidur,
tenangkan pikiranmu. Dan ingat, apa pun yang Ayah katakan tadi, sama sekali
bukan untuk menekanmu. Bagaimanapun juga, ini hidupmu, kamu yang akan
menjalaninya. Ayah hanya berharap kamu bisa memandang sesuatu bukan hanya berdasarkan
apa yang kamu rasakan sekarang ini, turutkan logika.” Pak Warto berusaha
melebur kekalutan yang kian pekat di wajah Mia—dengan senyum penuh kehangatan
seorang ayah.
Senyuman itu mengantarkan Mia
beranjak ke kamarnya.
Malam ini, Mia nyaris tidak bisa
tidur, ia benar-benar gelisah. Hampir setiap detik ia menggeser posisi dan
meliuk-liuk di balik selimut. Sesekali, Mia menatap lekat-lekat lukisan
pemberian Evan dan liontin merpati yang menggantung di lehernya secara
bergantian. Di saat yang bersamaan, Mia mencoba mencerna perkataan Pak Andri,
Bu Anggi, dan juga ayahnya yang masih terngiang jelas di telinganya. Mia
berusaha untuk tetap yakin, bahwa Dirga pasti akan kembali membawa kepastian
cinta yang ia dambakan selama ini. Tapi, ia juga tak bisa melupakan bagaimana
Bu Anggi dengan segenap harapan bersimpuh di hadapannya. Ia benar-benar berada
di posisi yang sulit.
⃰ ⃰
⃰
Evan merana. Tatapannya yang hampa
dipaksakan membentur ke sisi kamar yang dipadati lukisan-lukisan Sandra dalam
berbagai ukuran. Tapi kali ini, bukan lagi orang dalam lukisan itu yang membuatnya
tak berdaya. Evan melangkah ke ambang jendela, ia mengamati awan-awan yang menari
di hamparan langit sore nan cerah. Di sanalah terselip serpihan-serpihan
kekecewaan. Betapa Evan tidak pernah menduga sebelumnya, ia akan menerima
penolakan dari Mia.
Evan menyadari seseorang sedang
memasuki kamarnya ketika pintu berderik. Pasti Bi Asih yang sedang mengantarkan
makanan, pikirnya.
“Makanannya dibawa keluar lagi saja,
Bi! Aku belum lapar.”
“Ini aku, Van …!”
Evan terperanjat, ia sangat
mengenali suara itu. Tapi itu tak lantas membuatnya menoleh.
“Untuk apa lagi kamu datang ke
sini?”
“Untuk menjelaskan sesuatu yang
belum jelas.”
“Bukankah semuanya sudah jelas?”
“Kurasa belum.”
“Aku tak butuh lagi alasan penolakan
kamu.”
“Dan aku memang tidak punya alasan
untuk menolak, karena ternyata, aku pun butuh kamu.”
Evan baru saja mendengar kalimat
yang mugkin tidak didengarnya secara seksama, seperti ada yang ganjal di
kalimat itu.
“Semudah itu kamu mengatakannya?
Setelah kemarin kamu bungkam dengan ketidakbisaanmu?”
“Maafkan aku, Van. Aku butuh waktu
untuk menyadari perasaanku yang sesungguhnya.”
“Lupakan saja, jika itu berbentuk
belas kasihan. Aku tidak butuh cinta pengabdian darimu. Yang kubutuhkan
ketulusan.”
Mia tak tahu lagi bagaimana harus meyakinkan
Evan akan ketulusan yang memang tak sungguh-sungguh itu. Ia menghambur dan
mendekap tubuh kekar itu dari belakang.
“Ini sugguh, Van!” lirih Mia dengan
tangis tertahan.
Tak bisa dipungkiri, matahari baru
saja terbit di relung hati Evan, meski ia belum bisa menyakini hal itu
benar-benar didasari ketulusan. Air mata bahagia mengaburkan pandangannya. Ia
merasakan kehangatan dekapan Mia mampu melumpuhkan sel-sel keangkuhannya.
Selama beberapa menit, Evan tetap di
posisi itu, membelakangi Mia. Sebelum akhirnya ia meleraikan tangan mungil yang
melingkar di pinggangnya. Evan berbalik, memperlihatkan sepasang bening
berkaca-kaca. Ia menggenggam kedua tangan Mia, tatapan mereka beradu.
“Maukah kamu menikah denganku?”
suara Evan yang mengalun lembut merayapi sisi-sisi keraguan Mia.
Mia mengangguk di sela isak
tangisnya.
Senyum Evan melebar. Ia menarik Mia
ke dalam peluk hangatnya.
“Terima kasih!” bisik Evan. Jelas
saja rona bahagia meletup-letup di wajahnya.
Inilah akhir pemikiran panjang Mia,
tapi ini bukan soal bagaimana ia bisa mengalihkan perasaannya. Sosok Dirga sama
sekali tidak bergeser di hatinya. Ia tetap ada di sana, kekal selamanya.
Mia berusaha menepis hal buruk apa pun yang telah dilakukannya.
Sekarang, ia ada di sini bukan hanya demi Evan ataupun kedua orangtuanya, tapi
juga demi kebahagiaan sang ayah.
⃰ ⃰
⃰
Akhirnya, pernikahan yang menandakan
babak baru dalam kehidupan Evan dan Mia diselenggarakan sebulan kemudian. Tiga
hari sebelumnya, mereka berziarah ke makam Sandra. Evan memperkenalkan Mia,
serta meminta izin untuk memilih gadis itu menggantikan posisinya.
Hari bahagia itu tiba juga di
kehidupan Evan, meskipun dengan cerita yang sudah berbeda. Tak henti-hentinya
senyum pemuda berkulit putih itu bertebaran di antara tamu undangan yang
membanjiri gedung resepsi. Tunas-tunas kebahagiaan tumbuh subur di hatinya.
Sementara Mia, sekuat tenaga ia
memaksakan senyumnya turut melengkung, meski kadang selaput air mata berkilauan
di sudut matanya. Sesekali senyum itu bergetar menahan sesuatu yang perih,
sesuatu yang tidak ia mengerti. Mia berharap tak seorang pun yang menyadari,
betapa deras hatinya menangis saat ini. Mia melontarkan cacian kepada dirinya
sendiri. Bodoh! Tolol! Namun itu tak cukup untuk ia bisa menyadari tindakannya.
Tak ada lagi yang bisa dilakukan Mia
selain berusaha meyakini perkataan sang ayah, bahwa cinta itu bisa tumbuh
setelah pernikahan. Semoga saja. Karena jika tidak, entah berapa lama ia mampu
bertahan dalam buruan penyesalan.
Mia sama sekali tak ingin melepas
kalung yang mengikat jiwanya dengan Dirga, meskipun pada hari ini terlihat
sangat ganjil menjuntai pada leher kebaya glamor yang dikenakannya. Mia mencengkram liontin merpati itu di dalam
tangan yang di jari manisnya tersemat cincin pengikat cinta dari Evan. Saat ini,
tak ada yang lebih diinginkan Mia selain Dirga bisa mendengar bisikan hatinya.
Dirga … maafkan aku!
-------------------------------------------------------------------------------
*Terima kasih sudah membaca sampel novel "Dawai Cinta Tanpa Nada". Nah, jika berminat menikmati isi cerita secara utuh, bisa langsung hubungi saya. Inbox akun facebook "Ansar Siri", atau bisa langsung pesan sesuai format berikut: