Judul : Bapak, Kapan Kita Akan Berdamai?
Penulis : Regza Sajogur
Penerbit : de TEENS (Imprint Diva Press)
Tebal : 264 hlm
ISBN :
978-602-0806-37-2
Jangan berhenti berharap untuk akhir yang
kau sebut bahagia.
Blurb:
Pakk!
Tangan
kasarnya berhasil mendarat di pipiku. Perih.
“Kapan
sikap pembangkangmu bisa berubah?”
“Sampai
Bapak juga bisa melunak terhadapku,” jawabku.
Pukulan
kedua mendarat di perutku.
Marolop
kecil tidak mengerti, mengapa baju natalnya berbeda dengan milik
kakak-kakaknya. Ia tidak mengerti, mengapa bapaknya tidak pernah mengajak
bercanda ria. Ia tidak mengerti, mengapa harus menerima hantaman hanya karena
bermain di bawah hujan.
Hingga
akhinya, Marolop berhenti berusaha mengerti. Tidak peduli lagi dengan alasan
kebencian bapaknya, Marolop yang masih remaja memilih pergi, jauh ke kota
Bogor.
Tanah
rantau mengajarkannya banyak hal. Namun, masa lalu tetap mengetuk sela-sela
waktu Marolop, memaksa kembali masuk. Atau mungkin sebenarnya perasaan itu memang
tidak pernah keluar. Perasaan tidak diterima oleh bapak sendiri sudah bercokol
kuat dalam diri, membuatnya jadi pemuda yang benci sekaligus iri melihat kasih
sayang bapak kepada anaknya.
Hingga
akhirnya, alasan kebencian bapaknya terkuak. Dan Marolop harus belajar makna
kedewasaan.
----------------------------------------------------------------------------
Untuk saya
pribadi, dari judulnya saja, buku ini teramat mengundang minat. Saya selalu
suka cerita yang menyuguhkan drama di tengah keluarga, apalagi jika kaitannya
antara anak dan orangtua. Menurutku, selalu ada pesan moral yang kuat di
dalamnya. Terlebih buku yang mengisahkan kebencian seorang bapak kepada anaknya
ini.
Sebenarnya ending cerita ini sudah ditebak dari
awal, tentu saja si bapak dan anaknya itu akan berdamai pada akhirnya. Tapi
alasan kebencian bapak, serta proses yang mendewasakan Marolop hingga akhirnya
mereka berdamai, itu yang disuguhkan penulis dengan penuh cita rasa. Penulis
pandai menyimpan benang merah cerita ini dengan rapi dan sukses membuat saya
geregetan. Hingga dua bab terakhir, atau sisa beberapa puluh halaman lagi
sebelum cerita ini tandas, mereka belum juga berdamai. Ini benar-benar sesuai
dengan judul, kapan mereka akan berdamai?
Bab awal,
penulis sukses membuat saya menjadi bagian dari cerita, turut hadir di setiap
adegan. Dengan kata lain, penulis berhasil meyakinkan saya adanya
ketidakberesan antara bapak dan Marolop. Membaca bab awal buku ini, kita diajak
bertualang di pulau Sumatra melalui pelarian Marolop dari kampung halamannya,
Ponjian, hingga tiba di pulau Jawa. Tanpa melupakan kisah kelam di balik
pelarian itu. Berkat buku ini, saya mengenal beberapa nama daerah di Sumatra.
Penulis juga mendeskripsikannya dengan baik. Mulai dari suasana alamnya,
kehidupan masyarakatnya, dan beberapa detail lain yang menjadi pemanis dalam
cerita. Selain itu, kita juga diajak mengenal bahasa, masakan tradisional,
serta tradisi suku Batak.
Beberapa
bagian buku ini sempat membuat mata saya berkaca-kaca. Berikut saya sertakan
bagian tersebut:
Berulang kali aku melihat bapaknya memeluk kemudian mencium kening
Tigor. Hal yang tidak pernah aku dapatkan dari bapak. (hlm 15)
“Aku juga pernah mengalami hal yang sama. Lari dari rumah karena tidak
pernah sepaham dengan Bapakku. Beliau otoriter dan terlalu mengatur-atur
hidupku. Semua berlangsung hingga aku beranjak dewasa. Karena tidak tahan
dengan sikap Bapak, aku memutuskan untuk pergi dari rumah tanpa sepengetahuan siapa
pun, termasuk Ibuku. Aku baru mau pulang setelah Bapakku menghubungi untuk
pertama kalinya. Pada saat itu, beliau sedang sakit keras dan memintaku untuk
pulang. Aku luluh dan memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Sayangnya,
baru saja aku tiba, kerumunan orang telah memenuhi rumahku. Ternyata, itu
adalah hari terakhir Bapak di dunia,” terangnya. (hlm 33)
Ternyata Mas Gunawan tidak sendiri. Lelaki itu sudah lebih dulu
menurunkan anak SD (yang masih lengkap dengan seragam membalut tubuhnya) dari atas
motor. Sesaat kemudian, lelaki itu menghampirinya, memeluk dan mencium kening
anak itu. lalu dia meletakkan anak itu di atas pangkuannya, menimangnya, dan
bernyanyi sebuah lagu ceria bersamanya.
Aku terpaku menyaksikan pemandangan itu. seluruh tulang dalam tubuhku
serasa lemas seketika. (hlm 66)
“Tidak usah kau pikirkan, tidurlah! Kau tampak kelelahan,” kata Tulang
Sihombing seraya mengacak-acak rambutku, hal yang paling kusuka, sesuatu yang
tidak pernah kudapatkan dari bapak. (hlm 92)
Untuk pertama kalinya, aku benar-benar tenggelam dalam pelukan seoang
ayah. Hal yang tidak pernah aku temukan dalam hidupku. Aku mengeratkan pelukan
itu, seperti tidak rela ada yang mengambilnya dariku. Jantungku berdetak tidak
beraturan, berpacu lebih kencang lagi. Aku mendengar suara sesenggukan yang
muncul dari mulut bapak. Semakin lama semakin kuat. Ada jiwa yang tertekan
dalam suara itu. Aku bisa merasakan penyesalan dalam tangisnya, lewat sorot
mata yang perlahan meredup dan dari pacu jantung yang terus memburu. (hlm
259-260)
Di tengah
kisah kelam perseteruan bapak dan anak, penulis menghadirkan selipan romansa
yang manis, kisah percintaan antara Marolop dan Tiur. Bahkan, di bagian berikut
membuat kita jadi rehat sejenak dari kekelaman cerita:
“Bagaimana keadaanmu?”
“Sudah lumayan sehat. Hari ini aku minta izin tidak masuk kerja pada
Tulang.”
“Perlu aku menjengukmu?”
“Ada Nantulang di rumah.”
“Memangnya kita mau ngapain?”
“Bercumbu.”
Gadis itu tertawa setengah hidup di seberang sana. Meski terkesan
bising, aku tidak menyuruhnya untuk berhenti. Aku sangat menyukai tawa bernada
bas yang dihasilkan oleh suara serak-serak basahnya. Menurutku itu sesuatu yang
seksi.
“Katanya sakit! Apa menurutmu bisa melayaniku?” desaknya tidak mau
kalah.
“Lakukan dengan cinta aja, Baby!”
“Awalnya mungkin begitu. Akan tetapi suasana akan berubah ketika ritme
pemainannya semakin meningkat.”
“Aha! Saya suka itu,” kataku menggoda.
“Ya sudah. Istirahat sono.”
“Jadi gimana?”
“Apanya?”
“Nganunya.”
“Tunggu aja.”
“Sampai kapan?”
“Sampai kita sudah diikat sehidup semati.”
Bagian itu
jadi aksentuasi cerita ini, sukses bikin saya senyum-senyum sendiri. Bagian ini
juga menegaskan, bahwa penulis masih muda dan tak mampu terhindar dari hal satu
ini. Heheheh …!
Puncak ketegangan cerita ini ada
di bagian sengketa rumah pemberian Pak Tomi untuk Marolop. Meskipun menjadikan
Kakak Ipar sebagai dalangnya, menurutku terlalu dipaksakan dan agak rancu. Tapi
itu tidak mengurangi kenikmatan cerita hingga akhir.
Kekuatan
buku ini ada pada pemilihan diksi yang sederhana tapi tepat sasaran. Semua
sesuai takaran hingga kita betah melangkah dari satu bab ke bab selanjutnya.
Meskipun ada typo di halaman 211.
Terakhir,
buku ini mengajarkan kita untuk memegang teguh sebuah prinsip. Jika kita
menjalani hidup dengan optimis, Tuhan selalu mendatangkan pertolongan melalui
tangan orang-orang baik di sekeliling kita yang entah dari mana datangnya. Bagi
kamu yang berjiwa muda dan ingin mengenal sisi kehidupan lebih mendalam, buku
ini sangat recommended.