Sudah lama
kisah itu berlalu. Tapi entah kenapa, ia masih membekas dalam ingatan. Aku yang
sekarang—alhamdulillah—sudah menjabat
sebagai manajer di salah satu divisi perusahaan ini, masih berstatus karyawan
baru ketika gadis kecil itu tiba-tiba memasuki kehidupanku. Tak banyak yang
bisa kuceritakan tentangnya, karena pertemuan kami hanya tiga kali percakapan
dalam kurung waktu tiga minggu. Ini hari Rabu, rinai hujan mengalun mendekap
pagi. Suasana yang tercipta persis saat pertama kali aku bertemu dengannya.
Percakapan
pertama ….
Aku tiba di
parkiran dalam kondisi setengah basah. Di jarak 50 meter dari kantor, tiba-tiba
saja hujan turun tanpa aba-aba.
“Kak, beli
kuenya, Kak!”
Aku sedang
sibuk mengibaskan bintik-bintik air dari kemeja kerjaku, ketika tiba-tiba suara
nyaring itu bersahutan dengan gemuruh hujan. Aku menoleh, dan mendapati seorang
gadis kecil berkulit legam dengan rambut sebahu basah kuyup. Ia menenteng
keranjang berisi aneka kue tradisional. Ia mendekat dan kembali menawarkan
dagangannya. Kebetulan, aku memang belum sarapan, efek kesiangan.
“Satunya
berapa?” tanyaku kemudian.
“Seribu
rupiah, Kak!” jawabnya dengan tatapan penuh harap agar aku mau membeli
dagangannya.
“Boleh,
deh! Kakak beli 10, ya!” ucapku sambil mengeluarkan selembar uang sepuluh
ribu-an dari dalam dompet kemudian kuberikan padanya.
Sepasang
mata birunya langsung berbinar. Aku seperti melihat kilauan permata di
rawa-rawa.
“Kamu tidak
sekolah?”
“Sekolah,
dong, Kak. Tapi, aku sekolah siang, paginya jualan kue dulu,” terangnya sambil
memasukkan 10 biji kue ke dalam kantong plastik bening dengan jenis beragam.
“Karena
Kakak sudah beli 10 biji, aku mau kasih bonus buat Kakak,” ucapnya setelah
menyerahkan kue itu kepadaku.
“Oh, ya?
Apa?”
“Aku akan
berdoa buat Kakak, semoga selalu dalam keadaan sehat, murah rezeki, dan panjang
umur.”
Ia pun
mulai memanjatkan doa setelah meletakkan keranjang dagangannya. Tangannya
menengadah, bibirnya berucap kalimat polos anak seusianya. Yang membuat hatiku
bergetar, adalah surah Al-Fatihah yang turut dibacakannya sebagai penutup doa. Subahanallah! Sungguh fasih ia
melafalkannya. Selama sekian detik, indera pendengaranku tak lagi menangkap
gemuruh hujan, aku terlena dalam suaranya.
Ia memungut
kembali keranjangnya setelah selesai.
“Hmm … kuenya enak!” pujiku setelah
mencicipi satu gigitan kue yang bentuknya menyerupai angka delapan, alih-alih
menormalkan kembali suasana hati yang entah dibuat bagaimana oleh keindahan
yang baru saja diperdengarkan gadis kecil itu.
“Terima
kasih! Kue bikinan Ibu memang paling enak. Semua yang sudah mencicipi pasti
ketagihan,” ujarnya dengan seutas senyum tulus.
“Jadi, ini
bikinan Ibu kamu?”
Ia mengangguk
antusias, sambil tetap tersenyum.
“Kakak
pasti rajin shalat,” imbuhnya tiba-tiba.
Aku
mengernyit.
“Tuh, di
dahinya ada dua titik hitam.” Telunjuknya mengacung ke dahiku yang masih
mengerut.
“Jadi,
kalau dahinya hitam tandanya rajin shalat, ya?” tanyaku pura-pura lugu.
“Kata orang
begitu. Tapi Ayah, kok, tidak, ya? Padahal dahinya juga hitam seperti Kakak,”
ujarnya dengan polos.
“Terus,
Ayah kamu ngapain saja?”
“Kerjanya
cuma keliling minta sumbangan, katanya buat panti asuhan.”
Aku terkesiap,
ketika sadar jam kantor sebentar lagi dimulai.
“Nama kamu
siapa?” tanyaku sambil ancang-ancang untuk lari menembus kawanan hujan.
“Melati.”
---
Percakapan
kedua ….
Di hari
Rabu berikutnya, aku mendapati Melati di depan gerbang, ia sedang menawarkan
dagangannya kepada siapa pun yang melintas. Tapi, ke mana senyumnya? Sinar
kebiruan di matanya pun redup.
“Kamu ke
mana saja? Kok, baru muncul?”
“Eh …
Kakak.” Ia berusaha tersenyum setelah melihatku.
“Aku ke
sini memang cuma di hari Rabu, Kak! Selebihnya, aku jualan di tempat lain.”
“Ooo … gitu! Padahal Kakak kangen, loh, sama kue bikinan Ibu kamu.”
Ia
menampakkan ekspresi di luar dugaan. Harusnya matanya langsung berbinar begitu
kukasih sinyal bakalan beli
dagangannya. Tapi tidak, wajah itu sungguh timpang dengan yang kulihat minggu
lalu.
“Melati,
kamu kenapa?”
“Ayah
ditangkap polisi. Katanya Ayah penipu. Uang sumbangan itu sama sekali bukan
buat panti asuhan, tapi digunakan buat judi.” Suara Melati sendu, ia menunduk.
Aku
tersentak mendengar penuturannya.
“Kamu tahu
dari mana?”
“Aku dengar
dari tetangga. Awalnya cuma bisik-bisik, tapi sekarang semakin sering mereka
membicarakannya. Ibu jadi jarang keluar rumah, ia kebanyakan nangis di dalam kamar.”
Entah benar
atau tidak yang diucapkannya. Jika benar, berengsek sekali ayah anak ini.
Kuusap kepalanya penuh iba.
“Kata Ibu,
untuk membebaskan Ayah, kami butuh uang yang banyak. Jadi mulai sekarang, aku
harus lebih giat bekerja untuk mendapatkan uang itu.”
Betapa
polos anak ini. Tidakkah ia sadar bahwa ayahnya memang pantas mendapatkan
ganjaran itu? Supaya ia senang, kali ini kubeli kuenya sebanyak 30 biji. Nanti
akan kubagikan untuk teman-teman di kantor.
---
Percakapan
ketiga ….
Aku
mendapati Melati terdiam di trotoar. Ia hanya menatap orang yang melintas,
suara nyaringnya saat menawarkan dagangan tidak terdengar. Ada apa dengannya?”
“Kamu
kenapa? Bukannya jualan, kok, malah duduk di sini?”
“Eh …
Kakak.” Lagi-lagi ia memaksakan tersenyum setelah melihatku. Sesungging senyum
yang tercipta tampak aneh di bibir pucatnya.
“Kamu
sakit?” aku meraih dagunya untuk mengamati wajahnya.
Seketika ia
menggeleng. Kuperhatikan, sedari tadi ia memegangi pinggangnya.
“Atau kamu
lapar? Belum sarapan?” tanyaku lagi dengan nada cemas.
Ia kembali
menggeleng.
“Justru aku
bahagia, Kak, karena bisa membantu Ibu membebaskan Ayah.” Ia jeda untuk
mengambil napas. “Katanya ada sesuatu dalam tubuhku yang bisa dijual dengan harga
yang sangat mahal, uangnya bisa digunakan untuk membebaskan Ayah.”
Aku
tersentak. “Terus, kamu mau?” tanyaku kemudian dengan mata setengah melotot,
pikiranku mulai kacau.
“Tentu
saja. Aku tidak ingin Ayah ditahan polisi. Ibu membawaku ke suatu tempat ….”
“Ke mana?”
potongku tiba-tiba. Aku memegangi kedua pundaknya, entah kenapa jadi aku yang
meledak-ledak.
“Entahlah.
Aku tidak ingat jelas. Sepertinya aku ketiduran. Dan begitu bangun, aku sudah
ada di rumah lagi dan pinggangku mulai terasa sakit. Kata Ibu, ini tidak akan
lama. Ibu memberiku obat setiap hari agar lekas sembuh,” terangnya, kemudian
menyingkap sebagian kaus lusuhnya untuk memperlihatkan sesuatu yang sakit di
pinggangnya.
Seketika
mataku memanas, melihat pinggang mungil itu dililit perban. Sepertinya hal yang
kutakutkan sedari tadi … benar. Sungguh biadab ibu anak ini. Bibirku bergetar,
tapi aku tidak ingin menagis di depannya. Kupaksakan untuk tersenyum, dan
kuusap kepalanya dengan lembut.
Minggu
berikutnya, aku datang ke kantor lebih awal dari biasanya. Kutunggu Melati di
depan gerbang. Sejak percakapan terakhir kemarin, entah kenapa, aku tidak bisa
melupakan gadis kecil itu. Aku sangat mengkhawatirkannya. Karena itu, hari ini
aku mau memberinya obat yang kubeli khusus via online. Obat ini untuk mencegah infeksi bekas operasi di
pinggangnya.
Jam kantor
dimulai lima menit lagi, tapi Melati belum juga muncul. Hari ini pekerjaanku
agak terbengkalai, pikiran tentang gadis kecil itu berkelebat di benakku.
Sesekali aku sengaja berjalan keluar hingga melewati pintu gerbang, mencari
Melati. Tapi tidak ada. Ke mana dia? Apakah dia jualan ke sini bukan di hari
Rabu lagi? Semoga!
Tapi betapa
pun banyaknya hari yang kulalui kemudian, Melati tak pernah muncul. Aku
merindukan wajah polosnya, juga senyum tulusnya. Dan tentu saja suaranya ketika
membacakan surah Al-Fatihah, adalah akar sebab aku terus mencarinya.
Begitulah
Melati menorehkan kisah di hidupku hanya dengan tiga kali percakapan. Tapi hingga
saat ini ia masih menyisakan sesuatu dalam diriku, sesuatu yang kurasa belum
tuntas. Ini adalah hari Rabu kedua ratus sekian sejak percakapan terakhirku
dengan Melati. Semoga ia baik-baik saja meskipun hati kecilku berkata tidak.
Kuharap tubuh mungil itu mampu bertahan hanya dengan satu ginjal. Tiba-tiba
saja air mataku menetes tanpa sebab yang jelas, sama seperti ratusan hari Rabu
yang telah berlalu.
----------------------------------------------------------------------------------
PROFIL PENULIS
Ansar Siri, penyuka warna merah ini
menghabiskan masa kecil hingga remaja di tanah kelahiran, Bone—Sulawesi
Selatan. Cowok Capricorn yang mengemban mimpi untuk mengharumkan nama daerahnya
melalui tulisan. Kecintaannya pada dunia menulis berawal dari kebiasaan menulis
catatan harian.
Lebih
dekat dengan penulis;
Email : ansarsiri357@gmail.com
Facebook :
Ansar Siri
Twitter : @SiriAnsar
*Cerpen ini juara 3 lomba menulis cerpen bertema "Melarung dalam Emosi" yang diadakan oleh komunitas Indonesia Menulis Agustus-September kemarin.