Judul : Pada Senja yang Membawamu
Pergi
Penulis : Boy Candra
Penerbit :Gagas Media
Tebal : 248 hlm
ISBN : 978-979-780-864-8
BLURB
Apakah kau ingat saat
kita berjanji untuk saling membahagiakan?
Katamu, setiap
perasaan yang tumbuh adalah sebuah alasan. Alasan bahwa hati patut
dipertahankan. Namun, cinta saja belum cukup menyatukan mimpi yang berbeda di
antara kita. Dan, menepati janji ternyata tak semudah mengucapkannya.
Apakah kau juga tahu
bahwa kenangan bersamamu selalu muncul tiba-tiba? Tak ada satu perasaan pun
yang mampu kusembunyikan ketika mengingatmu.
Namun, aku sadar.
Harapan-harapan yang
dulu sempat memudar, harus kubangun lagi dan kumulai. Bukankah tak salah bila
aku ingin mengulang rasa yang dulu pernah ada? Meski kutahu, rasa itu tak akan
benar-benar sama.
Karena cinta bukan
tentang bagaimana rasa itu jatuh, melainkan bagaimana ia tetap bisa hidup di
dada yang rapuh.
Semua buku Boy
Chandra tidak diragukan lagi kecocokannya dengan selera baca seorang pencinta
puitis sepertiku. Termasuk novel bernuansa senja ini. Diawali dengan prolog yang
menghadirkan gambaran pertemuan sepasang kekasih yang sepertinya telah melalui
cerita perpisahan yang panjang. Sukses membuat kita menebak, sepertinya ada lika-liku
hati tertuang dalam cerita ini.
Konsep dasar
cerita ini cukup umum. Ada cinta, persahabatan, tentang meninggalkan dan
ditinggalkan, dan harapan. Tapi, penulis berhasil membungkusnya dengan cara
yang mungkin hanya ia yang bisa. Sepertinya novel ini akan cocok untuk kamu
yang sedang berjuang untuk move on. Hihihi
….
Hal paling sulit dari melepaskan diri dari
orang yang kita cintai, bukan menjauh dari fisiknya, melainkan menjauh dari
perasaan kita sendiri. Perasaan yang masih menaruh harap kepada orang itu. (hal
68)
Tuhan selalu punya kejutan atas penerimaan
manusia terhadap kenyataan. Aku mulai menerima diriku yang dilepaskan begitu
saja. Pun pertemuan-pertemuan dengan orang baru setelahnya. Dan seperti daun
yang jatuh, akan ada daun baru yang tumbuh untuk membuat pohon tetap hidup. Untuk
membuat pohon tetap terlihat indah. (hal 111)
Secara keseluruhan,
novel ini berkisah tentang Gian yang patah hati karena diputuskan oleh Kaila. Bersama
ketiga sahabatnya yang juga punya problem
masing-masing, ia berjuang untuk bangkit. Pada akhirnya ia bertemu dengan
Aira.
Aku suka
komposisi persahabatan dalam cerita ini. Tiga cowok, satu cewek. Seperti cerita
persahabatan pada umumnya, di dalamnya ada cinta terselubung. Selain cinta,
banyak hal mengejutkan di dalamnya. Aku paling suka dengan sosok Randi, playboy yang pada akhirnya mengambil
keputusan yang mencengangkan semua orang. Tapi kemudian merasa bangga terhadapnya.
Hal ini juga yang membuat cerita ini lebih hidup. Keputusan seperti apa? Cari tahu
sendiri, ya! Hehehe ….
Membaca cerita
ini kembali mengingatkanku betapa penting arti seorang sahabat.
“Kami mengenalmu sudah tiga tahun lebih. Jadi,
nggak usah merahasiakan apa pun dari kami. Kami peduli padamu.” Ucapan Randi
meluluhkan hatiku, membuatku merasa tidak sendirian. Seminggu mencoba
menenangkan hati sendirian rasanya sangat melelahkan. Malam ini, aku seolah
memiliki tenaga lain. Sahabat, yang selalu memerhatikanku. (hal 40)
“Suatu hari nanti kita akan sangat
merindukan saat seperti ini.” Putri bersuara, tetapi masih menatap ke arah
pantai. “Persahabatan itu seperti kapal kayu yang dilempar ke laut, sejauh apa
pun ia diterpa angin, ia akan kembali lagi ke pantai. Mungkin bukan di pantai
yang sama saat ia dilemparkan, tapi pantai lain. Aku ingin, kita seperti kapal
kayu itu, kelak kita akan terdampar lagi di suatu tempat, di mana kita bisa
menikmati embusan angin bersama. Aku ingin kalian menjadi pendayung kapal kayu
yang hebat. Biar kita sampai di tujuan yang sama.” (hal 134)
Yang unik dari
novel ini, setiap bab memiliki queto. Semacam clue dari makna yang bisa kita petik di bab tersebut. Dan kesemuanya
itu teramat sayang untuk dilewatkan.
Percayalah,
novel ini tidak hanya melulu tentang cinta. Banyak pesan moral yang bisa kita
petik di dalamnya. Seperti rezeki yang ternyata tidak melulu soal uang, serta
tak pernah ada hal yang benar-benar terlambat. Bahkan, nasi yang terlanjur jadi
bubur pun, masih bisa diolah menjadi kerupuk yang enak dimakan bersama nasi. Secara
tidak langsung novel ini memberikan pandangan baru terhadap peribahasa lawas
itu.
Ayahku mengajar Bahasa Indonesia di sekolah
menengah pertama sebagai guru honorer, yang gajinya tidak seberapa. Namun, ayah
tidak pernah mempermasalahkan uang yang ia dapat dari mengajar. Ia percaya,
rezeki datang dari banyak hal, dan tidak hanya dalam bentuk uang. Kepuasan batin
juga bentuk dari rezeki. Setidaknya, aku melihat itu di matanya setiap kali ia
menceritakan perihal pekerjaannya. (hal 52)
Apa yang terjadi, kini hanya harus kujalani
sebaik mungkin. Ibarat nasi yang sudah menjadi bubur, bagaimana membuat bubur
itu bisa menjadi kerupuk yang enak dimakan bersama nasi. (hal 104)
Novel ini juga mengenalkan
pacu jawi, salah satu kebudayaan
masyarakat Padang. Pacu jawi mirip
karapan sapi. Bedanya, pacu jawi diadakan
di tengah sawah, berkutat dengan lumpur. Ada yang menarik dari filosofi pacu jawi ini.
“Filosofinya, sapi yang jalannya lurus adalah
sapi yang baik, begitu juga manusia. Yang jalan hidupnya di jalan lurus adalah
manusia terbaik.” (hal 71)
Akhir cerita
ini bukan hanya memperlihatkan sekeping hati yang berhasil sembuh, tapi juga
sebuah pencapaian terhadap mimpi yang telah lama digenggam.
“Gie …, mimpi itu hanya bunga tidur dan selesai
saat kamu terbangun. Sedangkan impian adalah harapan yang baru saja dimulai
saat kamu terbangun. Maka berhentilah bermimpi, dan perjuangkan impianmu.” Itu
nasihat yang selalu ayah ingatkan kepadaku. (hal 237)
Menurutku pribadi,
kekurangan cerita ini terletak pada bagian awal yang terkesan lamban. Masa-masa
patah hati Gian terlalu bertele-tele. Sedang di akhir malah terburu-buru. Hubungan
antara Gian dengan Aira masih perlu dieksplor. Selain itu ada beberapa typo, di
halaman 85 dan 165. Itu saja.